Filsafat

FILSAFAT KEHIDUPAN

Filsafat Kehidupan

Sekarang sudah banyak orang yang tahu bahwa untuk berhasil tentu harus memiliki suatu tujuan atau impian, tetapi masih ada orang yang tidak melakukan tindakan untuk meraih mimpi-mimpinya itu.
 
Mempunyai sasaran dengan alasan yang kuat atas apa yang kita lakukan – entah bersifat finansial atau bukan – barulah setengah dari perjalanan untuk menyelesaikan sesuatu. Agar benar-benar tergerak untuk berbuat sesuatu, kita membutuhkan suatu dorongan yang berasal dari dalam diri, yang dalam hal ini kita sebut sebagai filsafat kehidupan. Membuat filsafat hidup kita sendiri akan mendorong dan memastikan bahwa kita benar-benar melakukan apa yang ingin dan perlu di lakukan untuk mencapai sasaran itu.
 
Filsafat kehidupan adalah pendekatan terhadap apa yang ingin kita lakukan dalam hidup – bagaimana kita akan melakukannya.
 
Filsafat hidup menentukan arah, membangkitkan kesadaran dan mengerakkan diri kita untuk membuat perencanaan-perencanaan guna merealisasikan sasaran.
Filsafat hidup ini akan membimbing kita dalam menjalani kehidupan seperti yang kita inginkan dan butuhkan.
 
Setiap orang seharusnya mempunyai minimal satu filsafat hidup, ini perlu di tuliskan agar kita bisa membacanya lagi dan lagi, sehingga kita selalu ingat. Dengan menuliskan akan merealisasikan pemikiran dan mendorong kita memikirkan gagasan dengan lebih jelas. Setiap pemikiran yang di realisasikan akan memotivasi tindakan positif.
Membuat filsafat ini harus di sesuaikan dengan sifat-sifat diri kita dan selaras dengan sasaran hidup kita sehingga menjamin kita sampai pada tujuan kita.
 
Saya telah menyusun beberapa filsafat hidup saya sendiri, yang mana dapat saya uraikan sebagai berikut :
 
1.      Sikap positif
 
Apakah sebuah gelas setengah kosong atau setengah penuh tergantung pada cara kita memandang isi gelas itu. Dengan sikap positif saya memandang bahwa gelas itu setengah penuh. Saya pecaya bahwa setiap masalah itu pasti ada solusinya. Ketika saya menjalankan prinsip ini saya menjadi mampu untuk mengatasi berbagai masalah, hambatan dan rintangan, dan sekarang saya tidak perlu takut dan cemas lagi dalam menjalani kehidupan ini.
Sikap merupakan pilihan, dan saya memilih untuk bersikap positif terhadap apa pun yang saya temui.
 
2.      Percaya pada diri sendiri
 
Saya telah melatih diri saya selama bertahun-tahun untuk percaya pada diri saya sendiri. Saya melakukan ini karena saya tahu kelebihan dan kekurangan diri saya, dan kini saya menjalani hidup saya sesuai dengan kekuatan, kemampuan dan potensi yang saya miliki. Saya mau menjadi diri saya sendiri, bukan menjadi diri orang lain.
Melalui pembelajaran yang saya peroleh, saya menemukan bahwa kunci keberhasilan seseorang adalah terletak pada Kepercayaan pada diri sendiri, di mana kepercayaan ini muncul bila kita telah mampu menerima keberadaan diri kita sendiri.
 
3.      Berani mengambil resiko
 
Sasaran-sasaran yang telah kita tetapkan akan terwujud kalau kita berani mengambil tindakan dan berani mengambil resiko terhadapnya.
Kalau kita sudah percaya pada sasaran kita, resiko itu pasti bisa kita atasi. Kita menjadi gigih dan tidak mudah putus asa ketika mengalami kegagalan.
Kalau dulu saya tidak berani keluar dari sekolah Pembangunan Jaya. Saya beranikan diri untuk menempatkan diri saya pada posisi yang sulit agar saya bisa berkonsentrasi penuh pada sasaran saya. Saya percaya bahwa kegagalan itu hanyalah bersifat sementara, dan masa-masa sulit itu justru yang bisa membuat diri saya semakin tangguh.
Menurut pandangan saya bahwa gagal itu tidak ada kecuali kita berhenti mengupayakan tercapainya sasaran kita sendiri. Bila kita masih terus berjuang, maka itu bukan berarti gagal, itu adalah proses yang harus kita lalui.
 
4.      Damai dan tenang
 
Saya percaya untuk mencapai keberhasilan kita perlu merasa damai dan tenang terlebih dahulu, barulah ide-ide atau gagasan-gagasan yang kreatif akan muncul. Oleh karena itu sejak beberapa tahun yang lalu saya mulai menjalani hidup saya yang damai dan tenang. Saya mengupayakan kedamaian dan ketenangan ini dengan menjalankan sholat 5 waktu disertai sholat sunah. Secara perlahan tapi pasti, saya mengupayakan untuk melepaskan ego saya sendiri, saya belajar untuk menjadi sabar, saya belajar untuk tidak berprasangka buruk, belajar menerima keadaan apa adanya.
Saya merasakan sendiri bahwa kedamaian dan ketenangan ini banyak membantu dalam kehidupan saya saat ini.
 
5.      Melayani dengan sebaik-baiknya
 
Dalam hidup ini kita memang harus melayani, sebab melalui pelayanan inilah kita bisa hidup sukses dan bahagia.
Prinsip ini saya aplikasikan dalam hidup saya saat ini, karena saya percaya kalau kita mau sukses kita harus memberi terlebih dahulu, barulah kita akan menerima. Kita tidak mungkin menerima sebelum kita memberi.
Kepada klien-klien, saya berusaha memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, dengan begitu saya juga akan mendapatkan yang terbaik.
 
Inilah 5 hal yang menjadi filsafat hidup saya saat ini, dan ini lah yang mengarahkan saya untuk melakukan tindakan-tindakan yang di perlukan.
 
Sekarang saat bagi anda menyusun filsafat hidup anda sendiri. Luangkan waktu untuk menggali dan menemukan sifat-sifat yang sesuai dengan filsafat hidup anda;  selaraskan dengan sasaran hidup atau tujuan tertinggi yang ingin anda capai dan kemudian tuliskan filsafat hidup ini dan bawalah kemanapun anda pergi. Filsafat hidup ini sebaiknya di susun hingga sempurna, sesuai dengan jiwa kita dan tidak ada benturan-benturan di dalam diri sendiri. Bila benturan itu masih terjadi, tentu kita harus segera memperbaikinya. Intinya bahwa filsafat hidup ini seharusnya bebas dari konflik-konflik internal – di dalam diri dan memotivasi.
Selanjutnya bacalah setiap hari – di pagi hari – sebelum anda mulai bekerja, renungkan apa yang bisa anda lakukan hari ini. Di malam hari bacalah kembali dan renungkan apa yang akan anda kerjakan esok hari.
Bila filsafat hidup ini telah meresap di dalam jiwa kita, dia akan menjadi sebuah sistem kita, dan secara otomatis kita akan bersikap sesuai dengan nya.
 

Pembaca yang budiman, mempunyai filsafat hidup ada manfaatnya, dengan memiliki filsafat hidup berarti kita mempunyai arah yang jelas, kita akan tahu apa yang benar yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran hidup. Bila kita melakukan hal-hal yang benar, kita pasti mampu untuk mencapai sasaran

Teori Kebenaran Ilmiah

Teori dan Kebenaran

Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.

Sementara salah satu pokok yang fundamental dan senantiasa aktual dalam pergumulan hidup manusia merupakan upaya mempertanyakan dan membahasakan kebenaran. Kebenaran boleh dikata merupakan tema yang tak pernah tuntas untuk diangkat ke ranah akal (dan batin) manusia. Kebenaran menurut arti leksikalnya adalah keadaan (hal) yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya. Itu berarti kebenaran merupakan tanda yang dihasilkan oleh pemahaman (kesadaran) yang menyatu dalam bahasa logis, jelas dan terpilah-pilah (Bagus, 1991:86).

Kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.

Definisi Kebenaran

Kebenaran dapat dipahami berdasarkan tiga hal yakni, kualitas pengetahuan, sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuan itu, dan nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu.

Kualitas pengetahuan dapat dibagi dalam empat macam, yaitu:

Pengetahuan biasa: sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal; memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memeperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.

Pengetahuan ilmiah: bersifat realtif, artinya kandungan kebenaran ini selalu mendapatkan revisi atau diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir.

Pengetahuan filsafati: bersifat absolut-intersubjektif, artinya selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapt pembenaran dari filsuf kemudian yang mengunakan metodologi pemikiran yang sama pula.

Pengetahuan agama: bersifat dogmatis, artinya pernyataan dalam agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam kitab-kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu.

Cara Memperoleh Kebenaran

Kebenaran dapat diperoleh melalui pengetahuan indrawi, pengetahuan akal budi, pengetahuan intuitif, dan pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.

Nilai kebenaran

Bagi positivis, benar substantif menjadi identik dengan benar faktual sesuai dengan empiri. Bagi realis, benar substantif identik dengan benar riil objektif, benar sesuai dengan konstruk skema rasional tertentu.

Sedangkan benar epistemologik berbeda, terkait pada pendekatan yang digunakan dalam mencari kebenaran. Kebenaran positivistik dilandaskan pada diketemukannya frekuensi tinggi atau variansi besar, sedangkan pada fenomenologik kebenaran dibuktikan berdasar diketemukan yang esensial, pilah dari yang non-esensial atau eksemplar, dan sesuai dengan skema moral tertentu.

Dengan demikian, benar epistemologik menjadi berbeda dengan benar substantif. Benar positivistik berbeda dengan benar fenomenologik, berbeda dengan benar realisme metafisik. Bagi positivisme sesuatu itu benar bila ada korespondensi antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Bagi fenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercayainya (belief). Pragmatisme mengakui kebenaran, bila faktual berfungsi (Muhadjir 1998:10)

  1. Teori Kebenaran
  2. Teori kebenaran korespondensi

Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya (Keraf dan Dua M, 2001: 66). Suatu pernyataan dapat dikatakan benar jika mengandung pernyataan yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Dengan kata lain, kebenaran korespondensi terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek. Teori kebenaran korespondensi ini adalah teori yang dapat diterima secara luas oleh kaum realis karena pernyataan yang ada selalu berkait dengan realita.

  • Teori kebenaran koherensi

Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang  sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar (Keraf dan Dua M, 2001: 88). Dengan kata lain pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat konsisten dengan pernyataan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Sebagai contoh, pernyataan “semua manusia pasti akan mati” adalah pernyataan yang benar, maka jika ada pernyataan bahwa saya pasti akan mati adalah pernyataan benar karena saya adalah manusia.

  • Teori kebenaran pragmatis

Teori pragmatis dicetuskan oleh filsuf pragmatis dari Amerika Serikat Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make our Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Suriasumantri, 1984:57)

Bagi kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan. Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak.

Bagi kaum pragmatis jika ide, pengetahuan atau konsep tidak ada manfaatnya maka ide tersebut merupakan ide yang tidak benar.

  • Teori kebenaran sintaksis

Teori ini berpangkal pada keteraturan gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan  tata-bahasa yang melekat. Jadi suatu pernyataan bernilai benar jika mengikutu aturan gramatika yang baku. Teori ini berkembang diantara para filsuf bahasa, terutama yang ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Friederich Schleiermacher.

  • Teori kebenaran semantis

Teori ini dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh pemula filsafat Analitika Bahasa. Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar ditinjau dari segi arti atau makna. Hal ini hendak menekankan bahwa suatu pernyataan benar jika pernyataan tersebut memiliki arti.

  • Teori kebenaran non-deskripsi

Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Suatu pernyataan dianggap benar tergantung peran dan fungsi pernyataan itu sendiri. Pengetahuan akan memiliki nilai kebenaran sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari.

  • Teori kebenaran logis yang berlebihan

Teori ini mempunyai pemahaman bahwa masalah kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa dan hal ini mengakibatkan adanya suatu pemborosan karena pada dasarnya pernyataaan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama dari masing-masing yang melingkupinya.

Sifat Kebenaran Ilmiah

Kebenaran ilmiah paling tidak memiliki tiga sifat dasar, yakni:

  1. Struktur yang rasional-logis. Kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, maka semua orang yang rasional (yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik), dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh sebab itu kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran universal. Dalam memahami pernyataan di depan, perlu membedakan  sifat rasional (rationality) dan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku untuk kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi kebenaran tertentu di luar lingkup pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah dan menangis atau semacamnya, dapat dikatakan masuk akal sekalipun tindakan tersebut mungkin tidak rasional.
  2. Isi empiris. Kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan kenyataan empiris di alam ini. Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran ilmiah, spekulasi tetap ada namun sampai tingkat tertentu spekulasi itu bisa dibayangkan sebagai nyata atau tidak karena sekalipun suatu pernyataan dianggap benar secara logis, perlu dicek apakah pernyataan tersebut juga benar secara empiris.
  3. Dapat diterapkan (pragmatis). Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan kedua sifat kebenaran sebelumnya (logis dan empiris). Maksudnya, jika suatu “pernyataan benar” dinyatakan “benar” secara logis dan empiris, maka pernyataan tersebut juga harus berguna bagi kehidupan manusia. Berguna, berarti dapat untuk membantu manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya.

Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan mengandung isi pengetahuan. Pada saat pembuktiannya kebenaran ilmiah harus kembali pada status ontologis objek dan sikap epistemologis (dengan cara dan sikap bagaimana pengetahuan tejadi) yang disesuaikan dengan metodologisnya.

Hal yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam hal kebenaran ilmiah yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya masing-masing.

Kebenaran ditemukan dalam pernyataan-pertanyaan yang sah, dalam ketidak-tersembunyian (aleteia). Kebenaran adalah kesatuan dari pengetahuan dengan yag diketahui, kesatuan subjek dengan objek, dan kesatuan kehendak dan tindakan. Kebenaran sering dianggap sebagai sesuatu yang harus “ditemukan” atau direbut melalui pembedaan antara kebenaran dengan ketidakbenaran.

Sumber:

Bagus, Lorens. 1991. Metafisika. Jakarta: Gramedia, Keraf, A.Sony dan M. Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, Muhadjir, H.Noeng. 1998. Filsafat Ilmu: Telaah sistematis fungsional, komparatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, Suriasumantri, J. 1984 Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Wikipedia.Org

Rasionalisme

Rasionalisme

Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama.

Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.

Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.

Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.

Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.

Dalam perkembangannya rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya.

Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut:

  • Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.
  • Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.

Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.

Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.

Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.

Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727).

Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).

Seperti diketahui bahwa logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya.

Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.

Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan “super-executive” untuk mencapai hakikat kebenaran spiritual. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama, tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami.

Jadi apakah Logika dalam Agama = kebenaran spiritual? Demikian pertanyaan analisa yang berkembang dalam filsafat rasionalisme.

Rasionalisme hanya sebuah metode filsafat yang memiliki kelemahan dan perlu dilengkapi dengan metode filsafat lainnya. Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.

 Sumber:

Adian, Donny Gahral, 2002, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume Sampai Thomas Kuhn, Teraju, Jakarta, Wikipedia.org

a href=”http://perilakuorganisasi.com/wp-content/uploads/2011/09/Rasionalisme.gif”

Positivisme

Positivisme

Istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

Konsep-konsep yang berkembang dari aliran positvisme antara lain:

Falibilisme

Falibilisme (falibilism) diartikan sebagai bentuk relativisme internal bahwa setiap orang membawa kenisbian, tidak mutlak, dan tidak menang sendiri.

Falibilisme ilmu pengetahuan berasal dari dua sumber yaitu sebagai konsekuensi dari metode ilmu pengetahuan, dan dari objek ilmu pengetahuan yaitu universum alam. Beberapa indikasi metodologis dapat dilihat sebagai alasan dari falibilisme moderat, pertama peneliti sendiri tidak pernah merasa pasti dengan apa yang dicapainya sendiri. Inilah ciri dasar dari setiap penelitian ilmiah yang selalu diawali dengan keraguan dan setiap pendapat yang mantap tidak akan membuat pikirannya tenang. Sehingga hasil penelitiannya sekalipun secara bertahap mengkonvergensi kebenaran, tidak pernah dilihat sebagai tempat terakhir bagi penilitiannya.

Kedua, fokus utama dari penelitian ilmiah adalah verifikasi atau hipotesis. Metode ilmiah dibangun agar sebuah hipotesis, setelah dirumuskan dapat diuji dengan melihat bagaimana prediksi diverifikasi.

Ketiga, metode yang digunakan adalah metode induksi sehingga kita membutuhkan fakta-fakta yang luas untuk merumuskan hipotesis. Dengan keterbatasan fakta maka hanya satu hipotesis yang disusun dan fakta yang lain adalah faktor pendukung.

Keempat, setiap hipotesis pada dasarnya tidak pasti. Hipotesis dirumuskan sebagai jawaban sementara atas problem, meskipun hipotesis itu merupakan suatu titik tolak yang harus dipegang untuk diuji, pada dirinya sendiri sudah terbuka untuk dievaluasidan dikoreksi.

Dari keempat alasan tersebut dapat dikatakan bahwa pengetahuan ilmiah itu tidak luput dari kekeliruan dan selalu terbuka pada kritik dan perbaikan. Jalan penelitian lebih lanjut harus dibuka sehingga kekeliruan dapat dikurangi, meskipun tidak ada harapan untuk menghilangkan semua kekeliruan. Karena itu, dari sudut pandang kaum emperisis tidak mungkin ada kepastian dan universalitas mutlak dalam pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, pengetahuan yang paling baik yang kita miliki adalah penyatuan yang tidak pasti. Apa yang kita terima sekarang pada suatu ketika di masa depan akan dilihat sebagai suatu kekeliruan. Karena itu, fabilisme ilmiah menjadi doktrin penting bagi manusia ilmuan. Ilmuan seperti juga para filsuf, akan mengatakan hal yang sama bahwa suatu kerinduan untuk mnegenal kebenaran dan pengakuan akan ketidaktahuan merupakan dorongan paling kuat bagi penelitian.

Renaisans

Zaman Renaisans ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaisans merupakan zaman peralihan ketika kebudayaan abad tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman Renaisans adalah mereka yang merindukan pemikiran yang bebas seperti pada zaman Yunani kuno. Pada zaman ini manusia disebut sebagai animal rasionale, karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan (progres) atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan ilahi[1]

Mulai abad ke-14  orang-orang Eropa merindukan kebudayaan klasik Yunani dan Romawi yang memungkin orang berpikir bebas. Zaman ini berlangsung hingga abad ke-16. pikiran orang lebih tertuju kepada manusia sendiri (antroposentris) tidak kepada kosmos atau Tuhan. Manusia menjadi animal rationale, yang kesemuanya ini merintis pengetahuan modern. Pada masa ini juga terjadi reformasi (31 Oktober 1517) yang dipelopori oleh Marthin Luther.

Benua Amerika ditemukan Christopher Columbus (1451-1506) pada tahun 1492 dan oleh Amerigo Vespucci (1454-1512) tahun 1499. keduanya adalah orang Italis yang bekerja untuk Spanyol. Pada umumnya orang beranggapan bahwa benua Amerika ditemukan tahun 1492 oleh Columbus. Tetapi karena Columbus baru mencapai pulau-pulai sebelah timur benua Amerika (yang diduganya Indonesia), benua ini diberi nama menurut nama Amerigo

Jika sebeblumnya hasil pemikiran oleh filsafat dan ilmu pengetahuan ditulis dengan tangan pada tahun 1440-an Johann Gutenberg (1396-1468) di Jerman menemukan mesin cetak, sehingga penyebaran ilmu pengetahuan menjadi cepat. Mesin cetak ini sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern.

Ilmuwan yang berpengaruh besar pada waktu itu adalah Nicolaus Copernicus (1473-1543) di Polandia, seorang ahli astronomi yang mengemukan teori heliosentris, bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, tetapi bumi dan bulanlah yang mengelilingi matahari. Pendapat ini didukung oleh Tycho Brahe (1546-1601) di Denmark, ahli astronomi yang dnegan memakai alat-alat besar mengamati dnegan teliti benda-bemda di langit dan mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari dengan orbit berbentuk lingkaran. Johannes Kepler (1571-1630) juga mendukung teori heliosentris tetapi mengatakan bahwa orbit berbentuk elips.

Galileo Galilei (1546-1642) di Italia dengan memakai teropong yang lebih sempurna mendukiung teori heliosentris, bahkan dapat melihat adanya gunung-gunung di bulan. Galileo banyak melakukan percobaan dalam mekanika dan fisika, sehingga dia dianggap sebagai pelopor dalam metode ekperimental. Gereja Katolik Roma beranggapan bahwa heliosentrisme bertentangan dengan apa yang tertulis dalam Alkitab, sehingga memaksa Galileo untuk menarik pendapatnya.

Andreas Vesalius (1514-1564) di Italia meneliti anatomi manusia, banyak memberi koreksi pada pendapat Galen yang telah dipakai sejak abad ke-1.

Ahli filsafat yang berpengaruh besar pada saat itu adalah Francis Bacon (1561-1626) di Inggris yang dalam bukunya Novum Organum menyatakan bahwa dengan pemikiran rasional dedukitif seperti yang ditulis Aristoteles dalam Organom orang tidak akan menemukan hal yang baru. Oleh karena itu harus memakai cara-cara empiris, dengan penalaran deduktif. Bacon dianggap sebagai “Knowledge is power”, pengetahu8an adalah kekuasaan sehingga pengetahuan harus disebarluaskan kepada masyarakat.

Ahli filsafat lain adalah Rene Descrates (1596-1650) di Perancis, seorang ahli matematika yang mengatakan bahwa manusia harus memakai rasionya, berpikir kritis dan meragukan segala hal. Agar mudah memecahkannya masalah yang komplek dipecah menjadi masalah kecil-kecil, dan diselelsaikan mulai dari yang paling mudah. Dia terkenal dengan pernyataannya “Cogito ergo sum”, saya berpikir karena itu saya ada.

Pada masa itu di Inggris Isaac Newton (1643-1727) menemukan hukum-hukum mengenai gravitasi dan optika. Dia juga menciptakan kalkulus (diferential integral). Newton menyatakan bahwa hukum gravitasi berlaku umum, tidak hanya untuk benda-benda di bumi, tetapi juga untuki benda-benda ruang angkasa. Benda-benda itu tetap pada orbitnya karena pengaruh gravitasi. Dia tetap mengakui kekuasaan Tuhan dengan mengatakan bahwa tanpa kekuasaan Tuhan benda-benda angkasa akan saling bertabrakan.

Untuk mendorong kemajuan dalam ilmu pengetahuan di banyak negara didirikan Akademi Ilmu Pengetahuan. Akademi-akademi ini mengatur penyelenggaraan pertemuan-pertemuan untuk membahas ilmu pengetahuan, seperti yang didirikan di Roma (1603), Florence (1657), London (1662), Paris (1666), Berlin (1700), dan St. Petersburg (1724).

Kritik

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada zaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.

Sumber:

Wikipedia.org 

Tinggalkan komentar