“ Presiden SBY Adalah Kepala Mafia Berkeley Reformasi ”

Demonstrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di Tanah Air ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan menentang AS.

Pernyataan, ”Go to hell with your aid”, yang sangat terkenal itu adalah bagian dari ungkapan kemarahan Soekarno kepada negara tersebut. Penolakan Soekarno yang sangat keras tersebut harus dibayar dengan kejatuhannya dari kursi Kepresidenan.

Ketika krisis ekonomi-politik nasional memuncak pada 1965, Soekarno secara sistematis mendapat tekanan untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto tepat 11 Maret 1966. Hal ini menandai berakhirnya era pemerintahan Soekarno dan dimulainya era pemerintahan Soeharto dengan Orde Baru-nya di Indonesia. Pada era pemerintahan Soeharto, selain Indonesia kembali dalam kontrol IMF dan Bank Dunia. Selain itu para pemegang otoritas kebijakan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru ini di isi oleh orang-orang yang dibina oleh pemerintah Amerika Serikat. Mereka membawa perekonomian Indonesia kearah ekonomi pasar liberal atau liberalisme. Para penguasa kebijakan ini kemudian dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley.

Para ekonom yang menguasai kebijakan perekonomian nasional sejak Orde Baru berkuasa antara lain adalah Widjojo Nitisastro, Subroto, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, dan Emil Salim.

Pemerintahan yang dikendalikan para ekonom Mafia Berkeley ini selain menunda pembayaran utang luar negeri selama beberapa tahun, mereka juga menggalang pembuatan utang luar negeri baru, dan membuka pintu bagi masuknya investasi asing secara besarbesaran ke Indonesia. Ternyata kehadiran Mafia Berkeley yang tidak dapat dipisahkan dari proyek besar kapitalisme internasional untuk menggulingkan Soekarno telah hadir jauh sebelum Soekarno digulingkan. Mafia Berkeley bekerja keras mempersiapkan segala alat legitimasi, berupa Undang-Undang, rencana pembangunan, dan proposal pinjaman, yang memungkinkan bekerjanya tangantangan kapitalisme internasional dan pemerintahan tangan besi di sini.

Dari tulisan hasil penelitian David Ransom, mengungkapkan adanya rangkaian kerja sistematis keterlibatan Amerika Serikat melalui Mafia Berkeley sebagai pemegang otoritas kebijakan didalam pemerintahan Indonesia. Termasuk kebijakan politik Amerika Serikat dengan dalih anti-komunisnya untuk menjerat bangsa-bangsa dan negeri-negeri lain untuk masuk ke dalam strategi kapitalisme global. Sementara itu badan intelijen Amerika Serikat (CIA) telah menyusupi hampir semua badan, lembaga, kekuatan sosialpolitik, dan oknum-oknum penting untuk kemudian diperalatnya.

Saat ini Masa itu berulang kembali, yaitu Sejarah Awal Era Orde Baru berulang Kembali…!!!

“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meyakinkan calon investor Amerika Serikat bahwa Indonesia negara yang tepat untuk berinvestasi, dalam pidatonya ketika menghadiri “Indonesia Investment Day” (IID) di New York Stock Exchange (NYSE), Wall Street, New York, Amerika Serikat, Senin 24 September 2012 pukul 09.00 waktu setempat atau pukul 20.00 WIB.”

Pertemuan IID ini dihadiri lebih dari 12 pimpinan perusahaan ternama AS, seperti dari BM, Honeywell, Cargill, Goldman Sachs, Boeing, dan General Electric.

Dan yang Mendampingi Presiden dalam acara ini disebut sebagai Mafia Berkeley Reformasi, antara lain, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Kesra Agung Laksono, Mensesneg Sudi Silalahi, Menlu Marty Natalegawa, Mendag Gita Wirjawan, Menkeu Agus Martowardojo, Menperin MS Hidayat, Kepala BKPM Chatib Basri, Dubes RI untuk AS Dino Patti Djalal, dan Dubes untuk PBB Desra Percaya.

Terlihat jelas Perbedaan Sekaligus Persamaanya yaitu jika Masa Orde baru Pemerintahan yang dikendalikan para ekonom Mafia Berkeley, mereka yang membuka pintu bagi masuknya investasi asing secara besar – besaran ke Indonesia.

Sedangkan, saat ini yang membuka pintu bagi masuknya investasi asing secara besar-besaran ke Indonesia adalah Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai kepala Negara Indonesia dan juga kepala Mafia Berkeley Reformasi  .

Apakah Indonesia Akan Bangkrut jika tidak Menjilat kepada Amerika…?

Kapan NKRI bisa mewujudkan Kemerdekaan 100%, Jika para pemimpinya menjual NKRI demi kepentingan Politik, Partai dan Kekuasaanya?

Saat itu Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns (2010) menceritakan kepergian Menlu Adam Malik pada akhir September 1966 untuk meminta bantuan AS. Tidak lama kemudian, Menko Perekonomian Sultan Hamengkubuwana IX menyusul untuk menghadiri pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia. Misi Adam Malik pada waktu itu adalah bertemu dengan petinggi CIA, Depertemen Pertahanan, DPR dan Senat AS, serta Presiden Lyndon Johnson. Menurut Simpson, pemerintah Johnson memandang Adam Malik sebagai petinggi Orde Baru yang harus dipertahankan tapi memiliki basis sosial-politik yang lemah di Indonesia. Untuk itu kepulangan Adam Malik harus disertai keberhasilannya membawa bantuan AS kepada Indonesia.

Di samping memasukkan Indonesia ke dalam perangkap hutang AS, juga ditempuh jalan masuknya korporasi AS untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Simpsons menyebutkan AS memiliki pengaruh sangat besar dalam merancang undang-undang penanaman modal asing. Undang-undang tersebut disusun Kepala Bappenas Widjojo Nitisastro di bawah arahan AS dengan acuan “liberalisasi maksimum”. Pada waktu itu, undang-undang inilah yang menjadi jalan masuknya Freeport ke Indonesia untuk mengeksploitasi emas dan tembaga di Papua.

Pada masa Pemerintahaan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Tercatat oleh BPS pada tahun 2011 produk domestik bruto Indonesia mencapai Rp7.427,1 trilyun tumbuh 6,5% dari tahun 2010. Dengan demikian pendapatan perkapita Indonesia naik dari Rp27,1 juta pada tahun 2010 menjadi Rp30,8 juta untuk tahun 2011. Data tersebut menunjukkan pendapatan perkapita Indonesia perbulannya mencapai Rp2,56 juta. Sebuah angka yang cukup fantastis tentunya.

Dan Dalam pidatonya, Senin 24 September 2012 ,  di New York Stock Exchange (NYSE), Wall Street, New York, Amerika Serikat, Presiden menjelaskan bahwa Indonesia merupakan kekuatan ekonomi terbesar Asia Tenggara, mencakup 34 persen PDB Asia Tenggara dan nomor 15 di dunia. Gross Domestic Bruto (GDP) Indonesia mencapai 1 triliun dolar AS.

Presiden kemudian menyampaikan pandangan ekonom Zubaid Ahmad, yang memperkirakan Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia pada 2040.

Dan sekali lagi timbul pertanyaan, Benarkah angka pendapatan perkapita tersebut mencerminkan kondisi riil pendapatan rata-rata masyarakat?

Yang kita lihat di tengah-tengah masyarakat justru mereka menghadapi kehidupan yang semakin sulit meski pemerintah membanggakan naiknya pendapatan perkapita dan turunnya angka kemiskinan menjadi 12,36% atau 29,89 juta jiwa pada tahun 2011.

Data BPS menunjukkan tahun 2011 pengeluaran rata-rata perkapita penduduk Indonesia mencapai Rp593 ribu. Berarti ada selisih antara pendapatan perkapita dengan pengeluaran rata-rata perkapita sebesar Rp1,97 juta. Dalam formulasi almarhum Profesor Mubyarto, selisih tersebut dapat diindikasikan sebagai penghisapan ekonomi.

Berdasarkan formulasi tersebut, maka derajat penghisapan ekonomi Indonesia untuk tahun 2011 mencapai 76,95%. Artinya dari Rp7.427 trilyun produk domestik bruto yang dihasilkan Indonesia pada tahun 2011, 76,95% dinikmati oleh asing dan sekelompok kecil pemilik modal. Sisanya hanya 22,05% dari nilai PDB yang dinikmati oleh 240 juta jiwa penduduk Indonesia. Inilah gambaran yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah membanggakan kinerja pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak dirasakan masyarakat. Sebab yang menikmati pertumbuhan ekonomi adalah asing dan pemilik modal

Kerangka berpikir ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa Kalimantan, Aceh, Riau, dan Papua yang notabene daerah kaya sumber daya alam tetapi tertinggal ?.

Teori ekonomi Barat menyebut permasalahan yang menimpa daerah-daerah tersebut sebagai “Kutukan Sumber Daya Alam” padahal yang sesungguhnya terjadi adalah “penghisapan ekonomi”. Kami memilih sebutan untuk kondisi di daerah kaya SDA tersebut sebagai akibat “Kutukan Globalisasi dan Liberalisasi”.

Politik pertumbuhan juga terbukti tidak dapat menghilangkan kemiskinan di Indonesia meski telah meraih kemerdekaan selama hampir 67 tahun. Pembangunan yang “digadang-gadang” rezim Orde Baru akan mencapai tahapan tinggal landas dan akan menghapus kemiskinan justru berujung krisis moneter dan krisis ekonomi. Krisis tersebut terjadi akibat penumpukan hutang pemerintah dan hutang luar negeri swasta. Sedangkan kinerja pembangunan yang “dibangga-banggakan” pemerintahan berada dalam posisi rentan terhadap krisis dan tidak dapat menghapuskan kemiskinan.

Menurut pemerintah angka kemiskinan terus menurun dari 23,4% pada tahun 1999 dan 16,58% pada tahun 2007, menjadi 12,35% pada tahun 2011. Permasalahannya, turunnya tingkat kemiskinan versi pemerintah tersebut disebabkan oleh rendahnya standar garis kemiskinan yang digunakan. Pada tahun 2011 standar garis kemiskinan nasional sebesar Rp243.729,-. Artinya penduduk yang miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran rata-rata perbulan di bawah Rp243.729,- atau perharinya di bawah Rp8.124,-. Jika pengeluaran rata-rata seseorang setiap harinya naik sebesar dua ratus rupiah dari Rp8.000,- menjadi Rp8.200,-, maka oleh pemerintah, orang tersebut tidak dikatagorikan sebagai orang miskin. Ini jelas sangat tidak rasional.

Kegagalan pembangunan disebabkan oleh belum lepasnya negeri kita dari cengkraman penjajahan dan kesalahan model pembangunan yang diterapkan. Indonesia membutuhkan lompatan solusi dengan melepaskan ketergantungan dan keluar pakem ekonomi Kapitalis. Indonesia harus membangun kemandirian dan menemukan konsepsi pembangunan yang benar.

Solusinya adalah Indonesia membutuhkan rezim yang baik yang melahirkan sosok pemimpin bermental mandiri dan independen dari pengaruh dikte asing yang sekaligus akan memutus segala hubungan dengan lembaga-lembaga neokolonialis. Penerapan sistem pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab menjadi sesuatu yang mutlak. Aparat pemerintahan haruslah diisi dengan para professional, ber’etos kerja tinggi dan amanah sehingga berbagai penyelewangan tidak terjadi.

Potensi sumber daya alam Indonesia merupakan sumber penerimaan negara yang sangat besar. Namun dalam APBN porsinya sangat kecil. Hal ini disebabkan kepemilikan dan hasil SDA jatuh ke tangan swasta dan asing. Seharusnya kekayaan SDA yang jumlahnya melimpah adalah harta milik umum sehingga tidak boleh diserahkan kepada swasta dan asing. Kekayaan SDA tersebut harus dikelola Negara dan menyalurkan hasilnya kepada rakyat.

Baru Indonesia Akan Meraih Kemerdekaan 100% dan Terbebas Dari Kemiskinan  Sesuai Dengan Cita-Cita Dan Harapan Rakyat Indonesia.

 

By. Ardhi Morsse

Refrensi :

  1. BPS, Berita Resmi Statistik, Nomer 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012.
  2. BPS, Berita Resmi Statistik, Nomer 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012.
  3. SETNEG,http://setkab.go.id/berita-5823-presiden-yakinkan-calon-investor-amerika.html
  4. BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, Februai 2011.
  5. Derajat Penghisapan = (1-(pengeluaran perkapita/pendapatan perkapita)) x 100%. Lihat Mubyarto (2003), Semangat Sumpat Pemuda Menggugat Budaya Neoliberal, http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_2.htm
  6. Natural Resoucrce Curse.
  7. World Bank, World Development Indicators, http://data.worldbank.org/
  8. BPS,http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=1
  9. Standar garis kemiskinan September 2011. Lihat BPS, Berita Resmi Statistik, Nomer 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012.
  10. Medan Bisnis Daily, http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/09/15

Tinggalkan komentar