*** Memberian sesuatu kepada masyarakat maksudnya,“Pilihlah Aku Jadi DEWAN.” ***

“COUT politique est un pret qui doit etre retourne”
(Biaya politik adalah pinjaman yang harus dikembalikan)
kata Marcel Mauss, Sociologie d’Anthropologie, asal Paris, Prancis.

Tidak ada yang gratis di dunia ini, terlebih jika terkait dengan urusan yang namanya POLITIK.

Maka, saat seorang calon anggota legislatif (caleg) dituntut mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, harus siap merogoh isi saku hingga tak tertentu.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang kembali menetapkan caleg dengan suara terbanyak dalam Pemilu 2014 mendatang, sepertinya akan mengulang sandiwara politik 2009 lalu.

Caleg harus menyiapkan banyak dana untuk mendekatkan diri dengan konstituen melalui berbagai media, seperti pertemuan langsung dan kunjungan ke kantong-kantong suara.

Tentu lanjutannya adalah berbicara soal rincian biaya politik, diantaranya transportasi, konsumsi, pertemuan, pengadaan atribut dan tentu saja honor (fee) anggota tim suksesnya.
Seorang caleg secara mendadak dipaksa menjadi dermawan. Tali asih adalah hal wajib untuk mengikat konstituen guna menjaga komitmen pemilih hingga tibanya hari pencontrengan.
Tali asih bentuknya bisa macam-macam, umumnya berupa sembako dan uang tunai, dengan nilai Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu.

Bisa dibayangkan!

Jika satu orang caleg di sebuah daerah pemilihan di wilayah kabupaten/kota membutuhkan sedikitnya 10 ribu suara, maka tali asih yang harus disiapkan sudah mencapai nilai ratusan juta rupiah. Itu belum ditambah komponen-komponen lain. Bisa diperkirakan, berapa biaya politik yang harus disiapkan.

Bagi caleg yang latar belakangnya pengusaha sukses, mungkin tak ada masalah untuk urusan dana.
Namun, bagi caleg dengan amunisi dana pas-pasan, ini akan jadi masalah besar.

Hanya ada dua strategi yang mungkin bisa dilakukan untuk caleg dengan dana pas-pasan ini.
Tetap maju terus tapi tanpa sosialiasi memadai atau temukan sponsorship.

Jika terpaksa harus mengambil sponsor, ada resiko yang harus dihadapi, yakni idealisme harus dibuang jauh.
Utang budi, akan memaksa seorang caleg jadi tak berdaya memenuhi permintaan si penyandang dana.
Sudah jamak lazim, tidak ada sponsor tanpa pamrih.

Bicara kepentingan politik, tidak sama saat membicarakan kemanusiaan.

Perbuatan seperti berbagi, sedekah dan amal adalah bentuk kemurahan hati seorang manusia, dimana ia akan melupakan perbuatan mulia itu dan tidak mengharapkan imbalan dari orang yang ia beri.

Namun, dalam konteks politik, khususnya bagi seorang caleg, menyamakan sebuah tali asih tanpa mengharapkan apa-apa adalah sebuah kegilaan total.

Pemberian sesuatu kepada masyarakat pasti ada maksudnya, yakni “Pilihlah Aku Jadi DEWAN.”

Konsep seperti ini disebut potlatch.

Yakni sebuah pemberian yang dipertukarkan. Bahasa gaulnya, timbal balik.
Jangan harap keikhlasan dalam konteks potlatch ini. Pemberian kepada calon pemilih akan ditukar dengan suara melalui contrengan.

Untuk para sponsorship, konsep potlatch-nya adalah, menukar dana yang sudah dikeluarkan untuk si caleg dengan akses-akses kekuasaan dan kemudahan birokrasi.

Apapun nanti, imbas dari konsep potlatch, seorang caleg yang sukses menjadi legislator, akan membayar pertukaran yang sudah dilakukannya.

Dalam lima tahun duduk di legislatif, ada target untuk mengembalikan apa yang sudah dikeluarkan itu dalam nilai yang berlipat-lipat.

Karena biaya politik adalah pinjaman yang harus dikembalikan.

Seorang caleg yang memegang teguh konsep potlatch ini, stereotip yang pertama adalah menjadi LEGISLATOR yang KORUP dan contohnya sudah sangat banyak.

Stereotip model ini sudah tak asing lagi dan mudah ditemui. Kinerja legislator ngawur, main terang-terangan, bolos sidang, asyik BBM-an atau nonton gambar porno saat sidang, adalah bentuk-bentuk dari sikap mengutamakan kepentingan dirinya sendiri.

Pertanyaannya, apa yang rakyat bisa harapkan dari para caleg yang sudah teracuni konsep potlatch ini?

Publik tidak butuh caleg yang kaya saja, yang bisanya bagi-bagi duit dan sembako. Publik butuh sosok yang mampu mewakili aspirasi dan kebutuhan mereka.

Mumpung masih ada waktu satu tahun, rakyat harus dihadapkan pada sebuah pilihan yang berkualitas. Pilihlah caleg yang terbaik, tanpa embel-embel dan tanpa praktik potlatch!

Tinggalkan komentar