Teori Organisai

Klasifikasi Teori Organisasi

Morgan (1986), mengklasifikasikan teori organisasi dalam beberapa klasifikasi berbagai perspektif, antara lain:

1. Organisasi sebagai mesin: organisasi di manfaatkan oleh pemilik dan menajemen untuk mencapai tujuan pribadi mereka. Proses dalam organisasi harus teridentifikasi secara jelas, pengelolaan atau manajemen menggunakan pendekatan engineering dalam mendesain tugas dan tanggung jawab secara mekanistik dan berulang.

2. Organisasi sebagai organisme; sistem terbuka: organisasi adalah entitas yang kompleks, dimana keberadaan kelompok organisme selalu berubah dengan lingkungannya. Perubahan adalah sesuatu yang krusial untuk menopang hidup dan bentuk. Merupakan kunci hubungan antara lingkungan dan berfungsinya secara internal.

3. Adanya pandangan tentang organisasi sebagai organisme, memungkinkan kita secara bijak bertanya tentang: kapan organisasi itu merasa baik, dimana organisasi itu sakit, bagaimana ia harus menghadapi tantangan (failling rock), apa yang diperlukan untuk membantu memahaminya.

4. Organisasi sebagai pikiran/ide (brain): organisasi sebagai ide (brain) adalah kemampuan untuk memproses informasi (mengambilnya dari berbagai sumber) dan pembelajaran (learning), sebagai bentuk pemikiran dan kreatifitas. Data, informasi, dan ide, didesiminasikan secara luas dan diberikan/dijangkau oleh semua orang. Kedua bagian otak baik yang bersifat analistis dan emosional harus merupakan bagian dari organisasi.

5. Organisasi sebagai kultur (budaya): organisasi sebagai kultur didesain dalam arti yang mendalam agar pelaku organisasi terpenuhi kebutuhan norma, nilai, ritual, dan tradisi sebagai basis parameter desain organisasi. Hasil dari pemahaman (shared meaning) membuat pelaku organisasi memiliki komitmen dan petunjuk dalam berbagai aktivitas organisasi.

6. Organisasi sebagai sistem politik: digambarkan dalam aspek kepentingan, konflik dan kekuasaan. Pertanyaan yang harus dijawab adalah siapa pemilik kekuasaan, dimana harus terjadi aturan-aturan organisasional dimana hal ini di lakukan. Pembedaan dalam pendekatan terhadap laki-laki dan perempuan diteliti dalam lima model penanganan konflik: kompetisi, kolaborasi, kompromi, pencegahan dan pengakomodasian.

7. Organisasi sebagai tahanan/penjara fisikal (psychic prison), organisasi dalam penjara fisikal merupakan jebakan terhadap pekerja dalam cara yang berbeda:

1. Pekerja dapat terjebak oleh keyakinan dan ketidakyakinan proses mental dalam rutinitas dan tekanan organisasional.

2. Mereka dapat terjebak dalam perhitungan ekonomis.

3. Kerja kelompok telihat sebagai sebuah penjara.

8. Organisasi sebagai gerakan yang berubah-ubah (flux) dan transformasi, perubahan dipaparkan secara logis. Tiga gambaran berbeda tentang perubahan diberikan sebagai cara menjelaskan bagaimana realitas organisasi mengukuhkan dirinya. Menjelaskan bagaimana hidup organisasi dibentuk dan ditransformasikan oleh proses transformasi logis dalam diri mereka.

Ketiga gambaran tersebut adalah:

1. Pendekatan biologis: organisasi digambarkan sebagai penghasil sistem bagi dirinya.

2. Hubungan kausal yang logis, dimana logika perubahan adalah proses edaran (circular) sebagai pengaruh dari trend dan tekanan.

3. Dialektika perubahan yang logis, dimana perubahan adalah hubungan dialektika antara berbagai pihak.

9. Organisasi sebagai seperangkat instrumen dominan: organisasi digambarkan dalam bentuk dominasi eksploitasi terhadap partisipan (stakeholders) dalam mencapai tujuan mereka. Hal ini menjelaskan adanya penyeragaman dan tekanan kelompok (pressure groups) dan tekanan untuk mengendalikan organisasi lewat hukum dan aturan-aturan.

Otonomi Keilmuan dan Kebebasan Akademik

Otonomi berarti berpegang pada kaidah/aturan yang ditentukan sendiri (auto: sendiri; nomos: aturan). Otonomi keilmuan merupakan condition sine qua non (syarat mutlak) bagi berfungsinya dengan baik suatu masyarakat keilmuan (scientific community). Ini adalah konsekwensi logis dari hakikat ilmu itu sendiri.

Ilmu

Ilmu ialah suatu cara untuk mengetahui. Yang hendak diketahui dan memang dapat diketahui—kendati tak akan pernah sampai “sebagaimana adanya”—ialah realitas. Keyakinan adanya “lahan garapan” inilah yang merupakan landasan ontologis ilmu (on: berada; onta: hal-hal yang ada).
Cara memperoleh pengetahuan keilmuan (scientific knowledge) ini sistematik atau setidak-tidaknya secara aposteriori dapat disistematisasikan. Ia adalah pengalaman dan hasil-hasil pengamatan dan percobaan yang dijalin secara terpadu dengan penalaran analitik dan perenungan intuitif. Yang pertama diperoleh dari interaksi antar ilmuan dan realitas yang ditelaahnya. Yang kedua berupa tafsiran logis-rasional atas data empiris-observasional-eksperimental hasil interaksi itu oleh akal budi, dalam akal pikiran ilmuan. Dengan cara inilah, dan dengan terlebih dahulu mentakdiskan (validate) hasilnya secara verifikasi atau falsifikatif, ilmuan memperoleh hal baru yang secara intersubyektif diterima dan dianggap sah sebagai pengetahuan keilmuan. Bahwa realitas itu atau setidak-tidaknya sebagian daripadanya, misalnmya yang diluar “das ding an sich”nya Kant- dapat diketahui, merupakan landasan epistemologis ilmu (episteme: pengetahuan).
Hasrat untuk mengetahui itu tak pernah kunjunng padam, sebab secara kodrati manusia disinungi (endowed with) dorongan dakhil (internal) untuk mengetahui lebih banyak dan lebih mendalam tentang segala aspek realitas. Selain itu, juga ada tujuan (telos) yang sarat dengan nilai-nilai yang diyakini manusia, sehingga usaha untuk mencapainya diterimanya sebagai panggilan atau tugas (kategorischer imperativ). Inilah landasan teleologis atau aksiologis ilmu (axios: nilai bersama).

Otonomi Keilmuan

Untuk memperoleh pengetahuan diperlukan bakat dan keringat (inspiration and perspiration). Keberhasilan seseorang ditentukan bukan saja oleh talenta (nature), melainkan juga wiyata (nurture). Diperlukan pula kreativitas, kejernihan pikiran, ketajaman penalaran, dan kecintaan yang sangat mendalam kepada objek penelitian (einfiibbung) guna menghampiri inti permasalahan itu, kebebasan untuk menerapkan cara-cara yang tepat untuk obsevasi, eksperimentasi dan analisisnya, dan kebebasan untuk menetapkan teknik-teknik pentasdikan (validasi) kesimpulan koroboratif dan prediktifnya. Wewenang masyarakat keilmuan sebagai suatu kelompok, dan ilmuan warga masyarakat itu sebagai individu, untuk mandiri dan bebas dari campur tangan pihak manapun dalam kegiatan keilmuan, adalah otonomi keilmuan.
Telah dikatakan di muka bahwa keilmuan tidak berpretensi sok merasa mampu memberikan deskripsi realitas “sebagaimana adanya”. Dengan kata lain ada kerendahan hati untuk mengakui keterbatasannya, sehingga kebenaran keilmuan bukanlah kebenaran mutlak. Tetapi bahkan kebenaran tentatif pun—yakni kebenaran yang senantiasa terbuka untuk disempurnakan, dikoreksi, dan bahkan difalsifikasi—mustahil dapat dicapai kalau tidak ada otonomi keilmuan; kalau ilmuan ditekan oleh penguasa, atau didikte oleh kepentingan ekonomik atau fanatisme ideologis tertentu.

Tanggung Jawab Sosial

Kebebasan dan wewenang harus disertai tanggung jawab. Wewenang (authority) itu diberikan oleh masyarakat, yakni wewenang untuk menyarankan persoalan-persoalan mendesak yang perlu diteliti, wewenang untuk mendesakkan alternatif-alternatif yang terbaik bagi pemecahan masalah konkret-aktual yang dihadapi masyarakat, wewenang untuk menentukan arah pembaharuan kurikulum dan kebijakan pengembangan iptek, dsb. Kedudukan terhormat dan hak istimewa (privileges) untuk menjadi parampara para pembuat kebijakan politik ini didukung pula dengan alokasi anggaran untuk kegiatan keilmuan yang ditanggung masyarakat menuntut tanggungjawab sosial dari para ilmuan.
Tanggung jawab sosial ini diwujudkan dengan kesetiaan ilmuan kepada ideal Bacon ( yakni “ilmu bagi kemaslahatan masyarakat), yang mustahil dapat dicapai tanpa ideal Aristoteles (yakni “ilmu demi ilmu itu sendiri) sebagai landasannya. Tanggung jawab sosial juga tercermin dalam penafian proyek penelitian dan penerapan iptek yang melanggar HAM yang menyepelekan resiko keamanan bagi masyarakat dan lingkungan hidup, dan yang melecehkan martabat manusia (Brown, 1971; Mackay, 1979; Van Harn, 1980; Urger, 1984).

Kebebasan Akademik

Akademik berarti “mengenai atau berkaitan dengan perguruan tinggi” (Wilardjo, 1977). Dalam kaitannya dengan kebebasan akademik, memang makna inilah yang dimaksudkan.
Makna “perguruan tinggi” tentu harus diperluas untuk mencakup pula lembaga penelitian yang tidak merupakan bagian dari suatu perguruan tinggi. Akademik juga berarti “(hanya) teoritis”. Makna ini pun penad (relevand) dengan pengertian kebebasan akademik, sebab penelitian yang dilakukan perguruan tinggi dan lembaga penelitian tidak terbatas pada penelitian terapan yang—melalui penggarapan hasilnya lebih lanjut dalam litbang tehnologi—selaras dengan ideal Bacon. Masyarakat akademik juga bergiat dalam penelitian murni yang berkiblat ke ideal Aristoteles. Hasil penelitian dasar (basic research) ini, bahkan yang semula terkesan esoterik dan semata-mata teoritis pun, ada yang dalam waktu singkat telah diterjemahkan ke dalam konsep atau proses yang melandasi terobosan tehnologis berskala besar!
Masyarakat akademik ialah “semua orang yang mengajar, belajar, melakukan penilitian, dan warga civitas academica” (Deklarasi Lima, 1988), tetapi “tidak termasuk administrator dan staf aministratif perguruan tinggi” (Konsensus Seminar di Lund). Masyarakat akademik ini dan warganya sebagai kelompok atau perseorangan memiliki kebebasan akademik.
Deklarasi Lima, 1988, Pasal I menakrifkan kebebasan akademik sebagai “the freedom of members of the academic community, inividually or collectively, in persuit, development and transmission of knowledge, trough research, creation, teaching, lecturing and writing”.
Dalam seminar di Lund, 1 Maret 1992, itu pula dcapai konsensus bahwa mengajar, merupakan bagian dari kegiatan akademik. Mustahil menalak (divorce) pengajaran dari penelitian di dalam masyarakat akademik. Karena itu, pengajaranpun harus memiliki kebebasan. Ini merupakan suatu kemajuan, sebab sebelumnya kebebasan akademik hanya meliputi hak masyarakat akademik yang kena-mengena dengan penelitian. Disini termasuk hak untuk memilih bidang dan persoalan yang hendak diteliti, penerapan metode eksperimental dan analisis teoritis dalam penelitian itu, dan cara, fora, serta media untuk mendesiminasikan temuannya.
Tersirat pula bahwa pengabdian kepada masyarakat termasuk dalam kegiatan masyarakat akademik yang diselimuti kebebasan akademik. Bukan saja karena pengabdian kepada masyarakat merupakan Tridarma Perguruan Tinggi, tapi karena ia dapat dilihat sebagai ujung kegiatan penelitian. Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan masyarakat akademik—bukan kuliah kerja nyata oleh mahasiswa, tetapi extension atau outreach programs oleh para dosen/peneliti—adalah desiminasi dan aplikasi hasil penelitian yang tujuannya selaras dengan tujuan Bacon. Jadi sesuai pula dengan hakekat ilmu yang bertumpu pada landasan aksiologis, dan merupakan bagian dari “raison d’entre” program penelitian keilmuan.
Kebebasan akademik ialah kebebasan akademik masyarakat akademik dari campur tangan pihak-pihak lain seperti pemerintah, perusahaan milik negara dan swasta, partai politik dan lembaga/kelompok lain, termasuk pula individu-individu dominan yang mempunyai kepentingan pribadi atau merasa terpanggil untuk mengemban suatu misi (misalnya kelompok pemikir (tink-tank) seperti Hudson Institute, Rand Corporation, CSIS, Brooking Institute, atau tokoh-tokoh miliarwan seperti Roos Perot, atau George Soros).
Berbagai pertemuan internasional seperti Dekalrasi Lima, Seminar Lund, Deklarasi Dares-Salam, Makna Charta Universitas-Universitas Eropa dalam Deklarasi Bologna (1998) dan Deklarasi Kampala (1990) berkesimpulan bahwa otonomi perguruan tinggi merupakan prasyarat bagi kebebasan akademik. Otonomi ini mencakup “kebebasan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dari (campur tangan) negara dan segala kekuatan lain dalam masyarakat untuk membuat keputusan-keputusan mengenai pengelolaannya, keuangannya, administrasinya, dan kebijakannya dibidang pendidikan, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan-kegiatan terkait lainnya”.
Otonomi keilmuan dan kebebasan akademik terkait erat dengan HAM sebagaimana dirumuskan dalam International on Economics, Sosial and Cultural Rights, dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dan dalam UN Declaration on the use of scientific and technological progress in the interest of peace and for the benefit of mankind (Muladi, 1997).

Kebebasan Mimbar

Pada hemat saya, konsep kebebasan akademik dan pengakuan serta penerimaannya secara universal masih memadai, dan tidak perlu dirinci lebih lanjut kedalam kebebasan mimbar. Namun setidak-tidaknya secara tersirat, pemerintah Indonesia (c.q. Depdikbud dan Kantor Menristek serta AIPI) berpegang pada kebebasan mimbar. Ini ialah kebebasan akademik yang dituangkan ke dalam hak yang berlaku secara terbatas bagi civitas akademica dengan aras senioritas di atas ambang tertentu saja. Idealnya – menurut proponent gagasan kebebasan mimbar ini – senioritas itu ialah keguru-besaran. “Mimbar” di sini berarti “Mimbar keguru-besaran” (the chair of profesorship).
Dengan diberlakukannya konsep kebebasan mimbar ini, maka hanya warga masyarakat akademik/keilmuan yang berjabatan fungsional akademik guru besar atau ahli peneliti utama yang diberi hak-hak tertentu, misalnya hak untuk mengajar dan melakukan penelitian secara mandiri. Warga masyarakat akademik/keilmuan yang belum mempunyai JAFA ini tidak diperkenankan mengajar, menguji atau meneliti secara mandiri. Mereka boleh melakukan kegiatan itu hanya dibawah “payung” nama seorang guru besar/ahli peneliti utama. Guru besar/peneliti utama tersebut bertindak sebagai mentor, sedang rekan-rekan mudanya bekerja sebagai understudy atau protega-nya.
Walaupun mungkin tidak secara legal, sekurang-kurangnya secara moral guru besar/ahli peneliti utama yang memayungi kegiatan itu harus bertanggung jawab bila timbul persoalan nanti. Persoalan itu misalnya manipulasi dan pemalsuan data, “the sin of omission” (membuang sebagian data dengan maksud tak terpuji, seperti mematuhi pesan sponsor), penjiplakan karya orang lain (plagirism), atau akibat fatal/destruktif dari penerapan temuan atau ajarannya. Yang terakhir ini misalnya kegagalan sistem, kegagalan lingkungan, atau keresahan masyarakat.
Karena adanya pengertian kebebasan mimbar yang dikaitkan dengan pengertian semacam itu, selayaknya civitas academica senior jangan di’fait accompli dengan keharusan menjadi penguji UNC atau pembimbing “Skripsi” oleh koordinator Program Studi, Ketua Jurusan, atau Pimpinan Fakultas.

Sumber Acuan :
1. Brown, M (Ed): The Responsibility Of Scientist, Collier-Macmilan, London 1971.
2. Mackay, D. M: Human Science and Human Dignity, Inter Varsity Press, Downer Grave (III), 1979.
3. Muladi: “Pengembangan Masyarakat Akademik Untuk Mengembangkan Budaya Akademik”, Makalah, disajikan dalam lokakarya sehari tentang budaya akademik, di Undip, Semarang, 29 Juli 1997.
4. Unger, S. H.: Controling Technology, John Wiley and Sons, New York, 1994.
5. Van Harn G. L.: Human Dignity As A Norm In Science, dalam Verheul, H. (Ed): Concern Abaut Science: Possibility And Problem, VU Press, Amsterdam, 1980.
6. Wilardjo, L.: “Budaya Akademik”, makalah,disajikan di Undip (Op. Cit).
* Tulisan ini adalah makalah pengantar diskusi di Senat Universitas, Universitas Kristen Satya Wacana, November 1998.
Liek Wilardjo, dosen Fakultas Tehnik Jurusan Elektro UKSW.

Teori Biaya Transaksi (Transaction Cost Theory)

Biaya Transaksi

Penjelasan Oliver E. Williamson (1975, 1985, dalam Donaldson, 1995), yang konsern/peduli pada biaya transaksi, menyimpulkan bahwa transaksi adalah pertukaran barang atau jasa antara orang dalam berbagai batasan. Pada proses pertukaran sumber-sumber menurut pendapat penganut teori biaya transaksi ternyata terdapat sejumlah faktor penting penciptaan dan pengembangan struktur organisasi, yaitu biaya-biaya keseluruhan dari sebuah rantai perekonomian (Scott, 1983, dalam Donaldson, 1995).

Williamson memandang berbeda terhadap dua pandangan pengembangan struktur yaitu pasar dan organisasi. Pada pasar, pertukaran terjadi lewat negosiasi kontrak dimana semua bagian diasumsikan bergerak untuk kepentingan pribadi. Dalam pandangan pengetahuan murni, pertukaran/transaksi merupakan kebutuhan semua bagian, dan harga didasarkan atas kepentingan individual serta tangan tak kelihatan (invisible hand) pada perekonomian bebas (sebagian besar adalah penjual dan pembeli) sehingga pengendalian biaya dibutuhkan oleh pasar bebas (pure market).

Dengan pemahaman tersebut di atas kemudian akan memberi penjelasan baru kepada kita tentang organisasi dalam perspektif biaya transaksi. Penjelasan pada pendekatan yang dibuat teori biaya transaksi memungkinkan kita membuka perspektif baru pula dengan lebih mendalam bagi penjelasan sejarah bisnis sebuah perusahaan (yang mungkin tidak dikenal) yang entah muncul dari mana, dan dalam waktu beberapa tahun telah mengambil kepemimpinan dengan mantap, kelihatannya tanpa usaha yang susah payah. Penjelasan yang selalu diberikan untuk hal ini adalah strategi yang unggul, tehnologi yang unggul, atau struktur yang ramping. Tetapi ternyata ada fakta baru yang menjelaskan setiap kasus perusahaan pendatang baru yang selalu menikmati keunggulan biaya, biasanya 30 persen (Drucker, 1995). Alasannya berada pada penjelasan teori ini yaitu setiap perusahaan baru pasti mengetahui dan mengelola biaya dari keseluruhan rantai ekonomi pada pasar bebas bukan hanya biaya-biaya pada perusahaannya sendiri.

Dengan demikian asumsi tersebut memungkinkan pekerjaan (pada organisasi) dilakukan lewat kontrak-kontrak yang dibuat guna mengendalikan biaya-biaya dalam transaksi. Klaim pada kontrak menyatakan bahwa melalui kontrak segala sesuatu yang bernilai di masa yang akan datang dapat diestimasi. Pada situasi ini organisasi dapat memandang dengan lebih baik alternatif untuk memediasi transaksi di pasar bebas. Pada pertukaran yang penuh dengan ketidakpastian (uncertaintly) dapat diredusir jika dilakukan pada sekelompok orang yang terorganisir dalam acuan yang rasional dan mekanisme organisasi yang mencegah sifat oportunistis. Organisasi menolong kita untuk melokalisir persoalan, menyederhanakan pilihan-pilihan, menciptakan jaringan informasi dan mencari alternatif-alternatif, menolong individu-individu menanggulangi keterbatasan pengetahuan untuk menentukan harga dan mengurangi ketidakpastian serta membuat keputusan pada pasar dan organisasi.

Williamson mengintrodusir acuan kegagalan pasar untuk menjelaskan mengapa sejumlah situasi memungkinkan pertukaran dalam organisasi terjadi secara lebih baik dibanding membiarkannya terjadi lewat pasar. Pada situasi ini (organisasi) dapat dilakukan dengan lebih baik karena terdapat kesempatan untuk menghalangi/mencegah dan memberikan kemungkinan yang lebih baik karena adanya monitor dan survei serta sistem insentif dalam mengurangi sifat opportunis.

Teori biaya transaksi memberikan kerangka acuan sebagai penjelasan umum terhadap titik pijak/organisasi sebagai mekanisme guna mendukung keputusan pada kondisi ketidakpastian dan mencegah sifat opportunistis terhadap pertukaran. Merupakan fokus utama penciptaan efisiensi dan dilakukan hampir pada semua pendekatan ekonomi (Scott, 1993, dalam Donaldson, 1995). Jadi sesuai namanya yang menjadi fokus utama dari teori transaksi adalah biaya-biaya transaksi di pasar. Teori ini menjelaskan bahwa organisasi adalah konsekwensi dari kegagalan pasar (market failure) dalam perusahaan besar (Williamson, 1975, 1985,

Teori Struktur Kontingensi (Structural Contingensy Theory)

Struktur Kontingensi

Structural Contingensy Theory muncul sebagai perpaduan antara teori manajemen klasik (Breeh, 1957, dalam Lex Donaldson, 1995, Sampai kira-kira akhir tahun 1950’an, teori struktur organisasional didominasi oleh teori manajemen klasik, yang menyatakan bahwa ada satu struktur terbaik bagi organisasi. Pengembangan hubungan manusia yang lebih berpusat kepada pengembangan individu dan menyokong partisipasi individu melalui komunikasi dan penyebaran pengaruh) dan pengembangan sumber daya manusia (HRM) (Likert, 1961).

Perpaduan ini menghasilkan sintesa bagi teori struktur kontingensi, dimana struktur yang terbentuk pada sebuah organisasi akan menjadi terdesentralisasi atau sebaliknya menjadi struktur yang lebih partisipatoris adalah bergantung pada situasi mereka. Teori ini lahir dari teori kontingensi sebagai pengembangan sistem desain (Jay Gilbraith, 1973, dalam Donaldson, 1995) yang menguraikan bahwa tidak ada satupun jalan terbaik dalam pengorganisasian, jalan lain pada pengorganisasian adalah sama-sama tidak efektif.

Teori kontingensi merupakan paradigma yang berorientasi pada hipotesis umum tentang organisasi harus berorientasi pada kebutuhan internal utamanya dan harus dapat beradaptasi dengan baik dalam lingkungannya (Scott, 1983). Lawrence dan Lorsch (1967) mengatakan bahwa organisasi dan lingkungan bagaikan dua gambar pada sebuah mata uang, mereka mengemukakan bahwa ketidakpastian dan perubahan lingkungan akan sangat mempengaruhi perkembangan pada struktur internal organisasi Menjelaskan hal ini, terdapat berbagai penilitian yang mendukungnya antara lain temuan Woodward (1958, 1965) dalam Donaldson (1995), yang menyatakan bahwa pada keadaan spesifik, derajat formalisasi dan sentralisasi yang optimal pada organisasi merupakan fungsi dari pengoperasian tehnologi, tingkat perubahan lingkungan (Burns and Stalker, 1961), dan besaran (size)(Pugh, 1969). Juga pilihan-pilihan struktur ini menurut Chandler (1962), menjadi penentu strategi atau besaran (size) organisasi (Williamson, 1970, dalam Donaldson (1995)). Chandler, 1962, adalah orang yamg memberikan dasar pengembangan studi tentang strategi dan strukturmelalui penjelasan secara mendetail terhadap sejarah bisnis USA, studi ini kaya akan deskripsi dan megarahkan kepada penciptaan dalil (postulasi) sebagai model dasar bagi kecocokan (fit) antara strategi dan struktur.

Pada lingkungan yang lebih luas dan ekstrim, biasanya dihadapi perusahaan multinasional (MNC), koordinasi keseluruhan dilakukan dengan menciptakan struktur matriks (Doz and Prahalad, 1984, 1991), untuk meghadapi misalnya perubahan lingkungan dan bauran produk (Lawrence dan Lorsch, 1967, Gilbraith, 1973, Davids dan Lawrence, 1977, dalam Doz dan Prahalad, 1991). Structural Contingensy Theory menempatkan performansi organisasi sebagai kecenderungan (affected) terhadap kecocokan (fit) atau ketidakcocokkan (misfit) antara struktur dan situasi (contingency)(Lex Donaldson, 1985, dalam Doz dan Prahalad, 1991).

Teori ini merangkum bahwa tiap organisasi mengadaptasi struktur dengan menggeser keadaan yang tidak cocok (misfit) sebagai akibat adanya performansi rendah kepada keadaan cocok (fit), dimana ada keteraturan untuk mencapai efektifitas dan performansi organisasi, atau perubahan struktural sifat positif dan produktif terhadap organisasi.

Pandangan Structural Contingensy Theory berkembang pesat sekitar tahun 1960. Argumentasi teori ini adalah bahwa organisasi secara individual beradaptasi terhadap lingkungan mereka. Organisasi harus mampu bertahan dan berhasil baik (prospher), walaupun kondisi lingkungan itu sendiri memungkinkan organisasi mencapai efisiensi, inovasi atau apapun59. Argumen ini menunjukkan bahwa manajemen organisasi tidak hanya mengadopsi bagian yang mencerminkan bagian lingkungan tetapi juga diikuti oleh pernyataan manajerial tentang tujuan organisasional yang memberikan keunggulan komparatif bagi organisasi60. Pernyataan manajerial ini merupakan bagian strategis bersama dengan sumber-sumber yang ada, memberikan petunjuk menyusun kembali proses pengadopsian bagian-bagian tertentu dalam hal ini besaran (size), tehnologi, difersivikasi, dan faktor lain yang menjadi variabel kemungkinan (contingency) dalam structural contingency theory (Burns dan Stalker, 1961, Chandler, 1962, Woodward, 1965, Perrow, 1967, Blau, 1970, Pugh dan Hickson, 1976).

Penyesuaian akhir struktur kontingensi

Setiap bagian utama dari teori adalah identifikasi faktor (atau kumpulan faktor turunan) dan rancangan terhadap struktur organisasional dalam kebutuhan akan tuntutan untuk beroperasi secara efektif pada setiap level di setiap derajat situasional. Sebagai contoh Chandler (1962) dalam Robbins (1995), mengemukakan argumentasi bahwa sebab dari sebuah perusahaan meningkatkan level desentralisasi dan bergerak dari bentuk fungsional kepada bentuk multidivisional struktur organisasi adalah proses penyesuain struktural.

Tabel kriteria relevansi pada aras makro bagi sebuah teori organisasi:

Teori Struktur Kontingensi

 Kritik Terhadap Teori Struktur Kontingensi

Kritik terhadap Structure Contingency Theory dilakukan oleh Pfeffer dan Salancik (1978), Perrow (1979), Bruner dan Moeller (1985), Stopford dan Wells (1972) dan Doz dan Prahalad (1991).

Kritik terhadap teori ini terjadi karena dilebih-lebihkannya perlakuan variabel lingkungan pada teori struktur kontingensi. Lingkungan ternyata tidak sedemikian dinamis seperti yang diasumsikan pada teori ini. Observasi yang lebih tepat mungkin adalah dewasa ini perubahan tidak lebih dinamis dibanding saat lain dalam sejarah, dan dampak dari ketidakpastian lingkungan terhadap organisasi berkurang cukup besar sebagai hasil dari strategi manajerial.

Pfeffer dan Salancik (1978), melihat bahwa teori struktur kontingensi tidak memperhatikan aspek politik dalam pembentukan struktur. Tesis Pfeffer dan Salancik (1978) tentang pengendalian kekuasaan menyatakan struktur sebuah organisasi kapanpun merupakan hasil dari mereka yang mempunyai kekuasaan untuk memilih struktur yang sampai tingkat semaksimal mungkin mempertahankan dan memaksimalkan control mereka. Perspektif pengendalian kekuasaan tidak mengabaikan dampak dari besaran (size), tehnologi atau variabel kontingensi lainnya, malahan pengendalian kekuasaan memperlakukan variabel kontingensi sebagai kendala yang dihadapi melalui proses yang disebut sebagai proses politis.

Sementara Perrow (1979), melihat hal yang bertolak belakang dengan teori struktur kontingensi yaitu di dalam teori birokrasi, bahwa birokrasi itu ada dimana-mana dan birokrasi merupakan cara yang paling baik dan efisien untuk mengorganisasikan sesuatu sangat bertolak belakang dengan teori struktur kontingensi dalam hal pertimbangan faktor-faktor kontingensi yang menentukan struktur. Ternyata birokrasi dapat dipakai sebagai dasar pembentukan struktur tanpa memperhatikan variabel tehnologi, lingkungan dan lain sebagainya. Birokrasi menjadi efektif pada sejumlah besar aktivitas yang diorganisir, baik itu perusahaan jasa, manufaktur, perguruan tinggi dan lain-lain.

Penting pula untuk mencari alternatif sebagai pelengkap indikator performansi struktur. Misalnya pada aspek pemasaran katimbang hanya sekedar mempergunakan indicator atau instrumen akuntansi (Bruner dan Moeller, 1985, dalam Donaldson, 1995). Hal ini sederhana tetapi sangat penting bagi pengembangan lebih lanjut teori struktur kontingensi. Demikian sebab pernyataan tentang keadaan ketepatan (fit) dalam struktur tidak didukung sepenuhnya oleh beberapa penilitian terhadap model fit (Hill, 1988, Grinyer, 1980, Steer dan Coble, 1978, dalam Donaldson, 1995). Variabel lain yang perlu diperhatikan pada teori ini adalah besaran (size), difersivikasi, dan birokrasi (Donaldson, 1995).

Pada area perusahaan multinasional baik itu perusahaan di Inggris maupun di Amerika Serikat, penilitian Stopford dan Wells (1972) dan Doz dan Prahalad (1991) menunjukkan bahwa teori struktur kontingensi perlu merevisi kembali model fit yang ada, dan alternative yang diberikan oleh mereka untuk merevisi model ini adalah pendekatan struktur matriks.

Hal ini mengindikasikan bahwa teori ini harus mengembangkan beberapa variabel yang mampu menjawab beberapa aspek yang tak terantisipasi oleh struktur sebelumnya yang dikembangkan oleh teori ini yaitu struktur fungsional dan divisional.

Dalam mengukur kontribusi teori struktur kontingensi terhadap organisasi yang berskopa luas dan kompleks yaitu perusahan multinasional. Kritik terhadap teori ini dilakukan oleh Norman (1976), Davis dan Lawrence (1977), Hammel dan Prahalad (1989), Doz dan Prahalad (1991)62. Indikator kontribusi teori struktur kontingensi diukur dalam beberapa elemen manajemen antara lain determinansi teori terhadap struktur, diferensiasi internal, optimalisasi pengambilan keputusan, pengelolaan informasi, akselerasi, penciptaan hubungan antar perusahaan, kontinuitas dan pembelajaran.

Riset yang dilakukan pada teori struktur kontingensi adalah mengenai pola (patern) dan model bagi pengendalian kantor pusat terhadap perusahaan afiliasi. Model teori dibangun dengan pertimbangan dua hal yaitu tentang adaptasi dan kegiatan tambahan yang terjadi dalam anak perusahaan terhadap lingkungan mereka, budaya dan gaya perusahaan induk. Secara keseluruhan teori struktur kontingensi sudah melakukan riset yang mengarah pada penjelasan manajemen perusahaan multinasional.

Namun riset empiris teori struktur kontingensi menjadi statis dan jarang dilakukan riset terhadap proses perubahan 65. Teori struktur kontingensi sangat statis dan karena hanya berfokus pada fungsi pekerjaan yang terjadi dalam teori ini maka sulit untuk mengaplikasikan proses perubahan organisasi kedalam teori ini sehingga dalam kepentingan mengaplikasikan teori ini ke dalam level organiasasi global perlu diasumsikan bahwa sistem yang ada bersifat dinamis. Oleh karenanya dinamika tersebut perlu diaplikasikan dalam proses perubahan organisasi, misalnya persoalan tentang pemberdayaan (empowerment), desentralisasi, dan adaptasi antara organisasi dan lingkungan yang memang merupakan hal baru yang harus ditambahkan dan merupakan sebuah tantangan bagi teori kontingensi. Dalam prakteknya manajemen harus memperhatikan hal ini sebagai kebutuhan untuk menyesuaikan respons organisasi secara menyeluruh terhadap kondisi lingkungan yang baru.

Teori ini menurut Evan dan Lawrence (1977), tidak mengarah kepada pembentukkan struktur pendukung perubahan yang terjadi pada manajemen perusahaan multinasional yang harus responsif terhadap perubahan selain penempatan struktur matriks dalam perusahaan multinasional66. Teori ini hanya terfokus pada bagaimana mengatur dinamika arus informasi dan diferensiasi internal perusahaan multinasional sehingga manajemen perusahaan multinasional secara keseluruhan bukan hanya berkutat pada persoalan informasi dan diferensiasi perusahaan tetapi juga menyangkut manajemen semua elemen yang menentukan terhadap situasi perusahaan multinasional yang kompleks.

Teori Organisasi Ekonomi  (Organizational Economics Theory)

Organizational Economics Theory terdiri atas dua teori yaitu Agency Theory dan Transactional Cost Theory of Organization. Keduanya membahas organisasi dengan basis disiplin ekonomi termasuk penggunaan konsep dan bahasa ekonomi. Teori peragenan dan biaya transaksi menggambarkan model mereka atas dasar ketidakpercayaan akan perilaku manusia yang cenderung untuk mengejar kepentingan pribadi lewat organisasi.

Disebutkan oleh Jensen dan Meckling (1976); Williamson (1985) dalam Donaldson (1995), sebagai kepentingan pribadi yang harus dikendalikan pada sebuah kolektivitas organisasi (rational eonomics man…man and woman as untrustworthy, devious and persuing their own self interest to detriment of organizational collective). Penganut teori ekonomi organisasi meyakini bahwa organisasi dapat dijelaskan secara tegas atau memiliki pendirian dan selalu bersentuhan dengan persoalan ekonomi. Sweberg (1990, dalam Donaldson 1995), menyatakan bahwa ilmu ekonomi sangat tegas, ilmiah, dan teoritis dibanding cabang ilmu sosial yang lain seperti psikologi, sosiologi, dan studi manajemen. Hal yang sama ditegaskan Caves (1980) dan Hirschleifer (1986), dalam Donaldson (1995), Caves menyatakan bahwa persoalan strategi organisasi dan bentuk struktur, sejarah bisnis, kebijakan bisnis, dan perilaku organisasi dapat dijelaskan secara lebih kritis dalam disiplin ilmu ekonomi. Sementara Hirschleifer mengatakan superioritas disiplin ilmu ekonomi akan mengambil alih penjelasan ilmu sosial yang lain seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu politik sebagai sebuah alat analisis.

Jargon umum dalam persoalan ekonomi adalah persoalan alokasi yang optimal dari sumber-sumber yang terbatas, alokasi optimal biasanya disebut sebagai efisiensi. Dua poin utama dari pemikiran seperti ini menurut Douma dan Schrender (1992) berhubungan dengan:

1. Pendekatan ekonomi terhadap organisasi yang spesifik berfokus kepada masalah ekonomi yaitu alokasi optimal dari ketersediaan sumber-sumber (resources).

2. Kontribusi ekonomi terhadap pemahaman persoalan organisasi meningkat atau muncul sebagai bentuk masalah ekonomi atau sebagai sebuah persoalan yang harus dijelaskan.

Penjelasan organisasi ekonomi sebagai paradigma teori organisasi menurut Douma dan Schrender (1992), dilakukan dengan mengadopsi pemikiran Coase (1937) tentang pasar dan organisasi, sebagai bagian dari tipe ideal bagi koordinasi terhadap proses transaksional (exchange transaction). Pasar dan organisasi dilandasi oleh satu hal esensial yaitu informasi yang melandasi proses komunikasi pada bagian transaksi. Organisasi ekonomi dijelaskan oleh Coase (1937), dengan gambaran konseptual sebagai berikut:

Organizational Economics Theory IMG

Organizational Economics Theory

Penjelasan singkat bagi gambaran Coase adalah tentang dua tipe ideal pendekatan organisasi ekonomi yang efisien yaitu pasar dan organisasi, yang menyediakan produk dan jasa lewat proses transaksi sebagai sebuah mekanisme yang menjelaskan fenomena ekonomi misalnya; saya harus kelihatan cantik hari ini, oleh karenanya saya perlu mandi.

Tindakan mandi merupakan sebuah proses transaksi dengan organisasi yang efisien yaitu dengan perusahaan air minum. Pasar dan organisasi merupakan dua alternatif pilihan dalam koordinasi keputusan yang ekonomis, koordinasi terhadap transaksi disebut oleh Coase sebagai tindakan yang inovatif dalam organisasi. Koordinasi pada organisasi diklasifikasikan oleh Coase (1937) dalam Douma dan Schrender (1992) sebagai berikut:

Organizational Economics Theory IMG

Organizational Economics Theory

Dalam kasus yang umum menurut Coase (1937), organisasi pada umumnya merupakan koordinasi dari beberapa mekanisme koordinasi dalam tabel tersebut di atas. Sementara pada pasar mekanisme koordinasi akan menentukan harga di pasar.

Kesimpulan Teori Organisasi Ekonomi

Merunut sedikit kepada latar belakang pengembangan teori ini, ia dikembangkan sesuai kebutuhan perusahaan modern. Adolf Berle dan Gardiner C. Means pada tahun 1932, mempublikasikan buku mereka dengan judul The Modern Corporation and Privarte Property. Dalam buku ini Berle dan Means memberi gambaran pemisahan dari pemilik dan pengendali sebagai tipikal perusahaan abad ke-20.

Pada perusahaan besar menurut mereka dimiliki oleh banyak pemegang saham, jadi dengan demikian tidak seorang pemilikpun yang memiliki kekuatan untuk mengontrol tindakan para pegawai pada perusahaan.

Teori Organisasi Ekonomi lewat kedua teorinya, Teori Biaya transaksi dan Teori Peragenan memberikan pemahaman tentang pentingnya pengawasan terhadap perilaku para manajer dalam organisasi, yang tidak dapat dipercaya dan penuh tipu daya untuk mengelabui para pemilik atau organisasi lain, yang mana telah terbina hubungan yang baik antara mereka dalam jangka waktu yang lama (Jensen dan Meckling, 1976, Williamson, 1985).

Pandangan ini tidak kelihatan secara akurat menggambarkan anggota organisasi yang dilibatkan dalam hubungan jangka panjang dengan pemilik dan partner organisasi. Organisasi ekonomi sepertinya mengendalikan keabsahan dalam daerah kekuasaan dari hubungan antar organisasi dan pelanggan tertentu dalam sebuah kasus. Dengan demikian organisasi ekonomi diaplikasikan dalam batasan hubungan dari organisasi dengan seseorang yang melakukan hubungan secara sementara misalnya customer.

Kontribusi teori ini bagi pengembangan teori organisasi adalah sebagai sebuah rangkaian kontrak antara para pelaku ekonomi yang saling berhubugan akan tetapi tidak memiliki ikatan sosial yang kuat guna mengatur perilaku. Situasi hubungan seperti ini menjadikan pandangan-pandangan dalam organisasi ekonomi menjadi relevan untuk diterapkan dengan konsep misalnya mengurangi resiko kerugian (adverse selection) dan tindakan curang (moral hazard) (Alchian dan Woodward, 1988, dalam Donaldson,1995).

Tinggalkan komentar