Indonesia vs China : Studi Komparatif Bisnis Ekonomi dalam CAFTA

Pendahuluan

4 Nopember 2002, pemerintah Republik Indonesia bersama negara ASEAN menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China (source). Melalui perjanjian China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) ini, maka ASEAN mulai melakukan pasar bebas di kawasan China-ASEAN.  Dan khusus negara ASEAN-6 (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina dan Brunai) telah  menerapkan bea masuk 0% per Januari 2004 untuk beberapa produk berkategori Early Harvest Package (sumber).

Sejak 2004, tiap tahun pemerintah Indonesia terus mengurangi besaran/persen bea masuk (BM) produk impor dari China. Dalam 5 tahun terakhir (2004-2009), sekitar 65% produk impor dari China telah mendapat stempel BM nol persen dari Dirjen Bea & Cukai Departemen Keuangan RI. Dan pada Januari 2010 ini, sebanyak 1598 atau 18% produk China akan mendapat penurunan tarif BM sebesar 5%. Dan  sebanyak 83% dari 8738 produk impor China akan bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai BM sepersenpun pada Januari 2010. Ini berarti pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem pasar bebas  yang seluas-luasnya dengan China.

Beberapa produk yang akan dibebaskan masuk pada 2010 ini (dari sebelumnya 5% pada 2009) adalah pasta dan sikat gigi, sisir dan jepitan rambut dari besi/alumunium,balpoin, pulpen, pensil dorong/putarbola lampu, kunci, gembok, hingga peralatan dapur yang terbuat dari besi & stainless. Bila produk-produk seperti balpoin, pulpen, pensil atau bol lampu yang pada 2009 masih dikenakan BM 5% sudah menjamur di  Indonesia, bagaimana pada 2010 yang notabene akan bebas masuk alias BM 0%?

Pasar Bebas Indonesia – China dalam Wadah CAFTA

Bisa dipastikan pada 2010 ini jumlah produk China semakin membanjiri  pasar Indonesia. Peningkatan permintaan produk dari China tentu akan menguntungkan China karena secara langsung memperluas lapangan pekerjaan di China, disisi lain industri-industri kecil Indonesia akan mulai berguguran yang pada akhirnya dapat  mengurangi lapangan pekerjaan.

Jauh sebelum penerapan pasar bebas Indonesia-China yang seluas-luasnya per 2010 ini, selama 5 tahun terakhir Indonesia mengalami kerugian (neraca) dalam hubungan kerjasama dagang Indoensia-China.  Dalam kurun 2003-2009, Indonesia mengalami defisit (kerugian) perdagangan non-migas dengan China sebesar 12.6 miliar dolar AS atau hampir Rp 120 triliun (lihat gambar tabel dibawah).

Dari tabel di atas, Indonesia hanya mengalami surplus perdagangan dengan China pada 2003 sebesar 535 juta dollar AS, tepatnya 1 tahun sebelum pelaksanaan Free Trade Area. Dan sejak 2004 hingga Nov 2009, Indonesia ‘konsisten’ mengalami defisit perdagangan dengan China dan mencapai defisit terbesar pada 2008 yakni USD -7.2 miliar atau setara Rp 70 triliun. Ini berarti penerapan CAFTA khususnya antara Indonesia-China telah memberi keuntungan yang sangat besar bagi Republik Rakyat China.

Pada tahun 2008, ekspor China ke Indonesia meningkat sebesar 652 % dibanding 2003. Sementara  pada periode yang sama, Indonesia hanya mampu meningkatkan ekspor ke China sebesar 265%. Ini berarti, China mendapat keuntungan hampir 3 kali lipat sejak dibukanya perdagangan bebas dengan Indonesia. Jumlah rata-rata penjualan produk China di Indonesia meningkat hingga 400% dalam kurun 5 tahun terakhir. Maka tidaklah heran bilamana berbagai produk yang kita gunakan/temui sehari-hari bertuliskan “MADE IN CHINA“. Mulai dari barang elektronik berteknologi tinggi seperti ponsel,  kamera, mp3/mp4/mp5 player, setrika, televisi, motor, mesin-mesin, hingga produk-produk berteknologi rendah seperti pakaian (tekstil), mainan anak-anak, makanan, kertas, jam, pensil, perabot rumah tangga, paku dll.

Meningkatnya produk China yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor kompetitf harga. Barang-barang impor dari China relatif  lebih murah dibanding produk dari industri lokal. Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih mencari barang murah (kurang memperhatikan asal/nasionalisme dan komparasi kualitas), maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk China.

Bila kran perdagangan bebas China-Indonesia sangat menguntungkan pemerintah China, mengapa Indonesia tidak mampu memanfaatkannya secara maksimum?

Kajian Komparatif Bisnis Ekonomi Indonesia vs China dalam CAFTA

Penyebab terbesar ketimpangan neraca perdagangan non-migas antara China dan Indonesia adalah tingkat kompetitif bisnis-ekonomi Indonesia yang rendah dibanding China. China unggul dalam berbagai faktor produksi barang dan jasa dibanding Indonesia. Dengan upah tenaga kerja yang hampir sama, buruh China bekerja lebih efisien,  ulet dan telaten serta keahlian yang lebih memadai. Berdasarkan laporan The Global Competitiveness Report  2009-2010, efisiensi tenaga kerja China menduduki peringkat 32 dari 133 negara. Sementara Indonesia berada diperingkat 75 jauh dibawah China.

Efisiensi tenaga kerja hanya satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi ekonomi produksi berbiaya rendah. Dari Global Competitive Index  2009-2010 (GCI),  Indonesia menduduki peringkat 54 dari 134 negara. Peringkat  GCI Indonesia jauh dibawah China #29,  Jepang #8, Taiwan #12,  Korea Selatan #19 di Asia Timur. Dikawasan Asia Tenggara, GCI Indonesia jauh dibawah Singapura #3, Malaysia #24, Brunai DS #32 dan Thailand #36. Dan untungnya Indonesia masih diatas Vietnam # 75, Filipina, #87, dan Kamboja #110. Catatan : Laos dan Myanmar tidak masuk dalam 133 negara yang disurvei GCR.

Faktor Kompetitif Bisnis/Ekonomi China-Indonesia (GCI Indonesia #54 sedangkan China #29)

Setidaknya, ada 12 faktor umum yang mempengaruhi kompetitif bisnis/ekonomi. Dan semua faktor kompetitif bisnis di Indonesia berada dibawah China kecuali faktor efisiensi pasar barang dan jasa. Sisanya seperti faktor sistem birokrasi yang cepat-tepat, infrastruktur, stabilitas ekonomi, inovasi bisnis, efisiensi tenaga kerja, suku bunga  perbankan dan ukuran pasar di Indonesia  jauh tertinggal dibanding China.

Praktik dari peribahasa “kalau bisa dipersulit, mengapa dibuat mudah” tampaknya sulit hilang dari mental para birokrat. Padahal praktik mempersulit bisnis/usaha mengakibatkan ekonomi kita menjadi ekonomi berbiaya tinggi. Sistem birokrasi (1) di Indonesia merupakan salah satu sistem dengan tingkatan terbanyak dan terkompleks. Untuk membuat izin usaha diperlukan waktu dan mekanisme panjang yang (+ tips). Praktik korup (2) ini pula menjadi pelengkap bottle neck untuk ekonomi produksi  yang murah (low-cost economy).

Permasalahan sistem Birokrasi, Infrastruktur dan Korupsi menjadi bottle neck ekonomi murah

Infrastruktur yang buruk  (3) menjadi alasan mengapa keenganan investor dan pengusaha untuk menanamkan modal dan usahanya di Indonesia. Selain sistem birokrasi yang amburadul, kekurangan fasilitas dan infrastruktur menyebabkan biaya produksi/pemasaran barang dan jasa menjadi tinggi. Ketidakpastian sumber energi bagi industri yang bergantung pada energi listrik menyebabkan para investor memilih negeri China. Kekurangan energi listrik dan akses jalan/pelabuhan secara nyata menjadi momok para investor. Banyak daerah yang sebenarnya berpotensi dalam mengembangkan bisnis/industri akhirnya terkendala hanya karena faktor jalan yang rusak/putus.

Contoh dari kasus infrastruktur yang buruk dialami oleh PT Port Rush di Kawasan Industri Terboyo, Kota Semarang . PT Port Rush batal memperluas usahanya karena infrastruktur di Terboyo tidak memadai. Padahal, perluasan senilai Rp 20 miliar tersebut dapat menyerap 300 tenaga kerja tambahan (Kompas, 10 Sept 2009). Hal senada juga disampaikan oleh investor Lee Wo fun, pemilik PT Ebako Nusantara yang kecewa dengan berniat hengkang.

Krisis Listrik 2008

Pada 2008 silam, Indonesia dilanda krisis listrik yang merugikan ekonomi masyarakat dan bisnis perusahaan. Tidak hanya desa-desa terpencil Indonesia yang biasanya gelap-gulita, namun kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan pun mengalami pemadaman listrik secara bergiliran. Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan Rachmat Gobel mengatakan bahwa  krisis pasokan listrik telah mengurangi kepercayaan calon investor (Kompas, 10 Juli 2008.)

Akibat krisis listrik selama Mei-Juni 2008, sejumlah perusahaan Jepang di sekitar Jakarta dan Banten tersebut mengaku rugi Rp 41 miliar dalam dua bulan terakhir akibat pemadaman. Tidak hanya di sekitar Jakarta dan Banten, industri di sejumlah daerah pun merasakan dampak kerugian yang sama akibat terhentinya pasokan listrik. Di Palembang, Ketua Kadin Sumatera Selatan Ahmad Rizal mengatakan, pengusaha menderita rugi besar karena PLN kerap melalukan pemadaman tanpa pemberitahuan. “Lama-lama industri bisa kolaps,” kata Ahmad.

Di Padang, gara-gara listrik mati 2-4 kali sehari, para pengusaha kecil dan menengah menanggung rugi sampai jutaan rupiah per hari. Para pengusaha juga mengeluhkan target produksi harian yang acapkali meleset karena sarana usaha yang memakai listrik tidak bisa digunakan. “Akibatnya, produksi baju yang biasanya 1.000 potong sehari, merosot jadi 500 potong saja. Kalau ditaksir, kerugian kami bisa mencapai Rp 1 juta,” kata Sumarni, pengelola konveksi Maradon (Kompas, 10 Juli 2008.).

Kondisi infrastruktur terutama jalan, transportasi dan pasokan listrik Indonesia masih jauh dibawah China. Untuk mendukung ekonomi-industrinya, China membangun secara besar-besaran pembangkit listrik, sistem transportasi, jalan raya hingga stok air bersih. Dengan membangun fasilitas-fasilitas ini dengan baik, maka China akan jauh lebih menarik investor untuk masuk ke negaranya. Dengan fasilitas yang memadai, maka biaya ekonomi akan jauh lebih murah yang disertai kecepatan perpindahan barang dan jasa yang tinggi.

Tingkat Suku Bunga

Tingkat suku bunga perbankan sangat mempengaruhi inflasi dan tingkat pengembalian modal investasi (return of investment dan MARR). Suku bunga yang terlalu rendah dapat menyebabkan kenaikan inflasi, dan sebaliknya. Sementara jika suku bunga tinggi, maka inflasi dapat terkendali, namun disisi lain akan menyebabkan resiko usaha sektor riil semakin berat akibat beban bunga yang harus dibayar.

Oleh karena itu, dunia perbankan harus jeli menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar antara tingkat suku bunga yang kompetitif terhadap return investasi di sektor riil serta inflasi. Secara alamiah, sektor riil-lah yang menumbuhkan sektor finansial, yang menentukan penghasilan sektor finansial, bukan sektor finansial yang menentukan berapa harga yang harus dibayar oleh sektor riil kepadanya.

Dalam hal ini, tingkat kompetitif Indonesia masih jauh dibanding China. Suku bunga kredit Indonesia mencapai lebih dari 10% per tahun, sementara pengusaha China hanya membayar suku bunga tidak lebih 7% (data tahun awal 2009 : Indonesia – China). Ini berarti pengusaha China akan jauh lebih mudah memainkan harga yang lebih murah dibanding pengusaha Indonesia.

China vs Indonesia : Ekonomi Biaya Tinggi vs Ekonomi Biaya Rendah

Berdasarkan indeks kompetitif ekonomi China vs Indonesia, maka dapat disimpulkan pula bahwa biaya ekonomi  produksi Indonesia tergolong lebih tinggi dibanding dengan China. Hal tersebut terutama disebabkan ketidakefisienan birokrasi pemerintah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan ketidakstabilan politik. Infrastruktur yang buruk meliputi kualitas jalan raya, alat transportasi, fasilitas telekomunikasi, dan listrik. Itu pula yang menjadi alasan mengapa para investor asing lebih suka mengambil alih (take over) pabrik di Indonesia daripada membangun pabrik baru. Dan sebagian diantaranya lebih senang menginvestasi dalam bentuk pasar modal (hot money).

Dengan disparitas kompetitif ekonomi Indonesia terhadap China, maka pelaksanaan pasar bebas yang lebih luas pada Januari 2010 ini akan semakin memukul pengusaha kecil Indonesia terutama pengusaha yang berada di daerah-daerah dengan kualitas infrastruktur yang buruk disertai korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Persaingan pasar bebas ini menjadi tidak fair dan dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.

Perdagangan bebas akan akan mampu meningkatkan standar hidup melalui keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar apabila pihak-pihak yang bersaing memiliki dan mendapat kualitas faktor-faktor ekonomi yang selevel/berimbang. Apabila faktor-faktor biaya ekonomi mengalami ketimpangan yang tinggi, maka perdagangan bebas hanya hanya merusak industri lokal di negara yang tidak kompetitif.

Dalam hal ini, Prof Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi 2001, mengkritik konsep pasar bebas yang tidak adil dan  berimbang. Perdagangan bebas yang tidak berimbang dan adil akan menghancurkan perekonomian suatu bangsa. Perekonomian masyarakat akan hancur apabila produk-produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih murah, sementara  produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh ratusan ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh dibawah harga jual produk impor.

Oleh karena itu, hendaknya pelaksanaan perdagangan yang bebas didasarkan pada faktor komparatif kualitas (fasilitas dan teknologi), kompetitif dan produk komplementer.  Produk-produk yang sudah mampu diproduksi oleh pengusaha lokal hendaknya diproteksi seraya didorong untuk meningkatkan efisinsi biaya produksi. Sementara kita membuka produk-produk berteknologi tinggi yang dapat kita manfaatkan sebagai faktor mendukung (faktor produksi) industri  yang menggunakan level teknologi dibawahnya.

Dan bila berbagai faktor ekonomi produksi tersebut tidak setara, maka akan terjadi dominasi perdagangan. Dalam hal ini, Cina memiliki transfortasi dan fasilitas yang mumpuni, sementara itu Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Akibatnya, produk China akan ‘menguasai’ Indonesia. Bila ini terjadi, maka Indonesia akan semakin melekat sebagai negara ‘konsumen’.

 ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA)

ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta  serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk 1 mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

Produk yang dikatagorikan dalam General Exception adalah produk-produk yang secara permanen tidak perlu dimasukkan kedalam CEPT-AFTA, karena alasan keamanan nasional, keselamatan, atau kesehatan bagi manusia, binatang dan tumbuhan, serta untuk melestarikan obyek-obyek arkeologi dan budaya.Indonesia mengkatagorikan produk-produk dalam kelompok senjata dan amunisi, minuman beralkohol, dan sebagainya sebanyak 68 pos tarif sebagai General Exception. 

GAMBARAN UMUM AFTA

1. Lahirnya AFTA

Pada pertemuan tingkat Kepala Negara ASEAN (ASEAN Summit) ke-4 di Singapura pada tahun 1992, para kepala negara mengumumkan pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas di ASEAN (AFTA) dalam jangka waktu 15 tahun.

2. Tujuan dari AFTA

  • menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global.
  • menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI).
  • meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade).

3. Manfaat dan Tantangan AFTA bagi Indonesia

 

Manfaat :

  • Peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia, dengan penduduk sebesar ± 500 juta dan tingkat pendapatan masyarakat yang beragam;
  • Biaya produksi yang semakin rendah dan pasti bagi pengusaha/produsen Indonesia yang sebelumnya membutuhkan barang modal dan bahan baku/penolong dari negara anggota ASEAN lainnya dan termasuk biaya pemasaran;
  • Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk yang tersedia di pasar domestik semakin banyak dengan tingkat harga dan mutu tertentu;
  • Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka dengan beraliansi dengan pelaku bisnis di negara anggota ASEAN lainnya.

Tantangan :

  • Pengusaha/produsen Indonesia dituntut terus menerus dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara profesional guna dapat memenangkan kompetisi dari produk yang berasal dari negara anggota ASEAN lainnya baik dalam memanfaatkan peluang pasar domestik maupun pasar negara anggota ASEAN lainnya.

4. Jangka Waktu Realisasi AFTA

  • KTT ASEAN ke-9 tanggal 7-8 Oktober 2003 di Bali, dimana enam negara anggota ASEAN Original Signatories of CEPT AFTA yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand, sepakat untuk mencapai target bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal 60% dari Inclusion List (IL) tahun 2003; bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal 80% dari Inclusion List (IL) tahun 2007; dan pada tahun 2010 seluruh tarif bea masuk dengan tingkat tarif 0% harus sudah 100% untuk anggota ASEAN yang baru, tarif 0% tahun 2006 untuk Vietnam, tahun 2008 untuk Laos dan Myanmar dan tahun 2010 untuk Cambodja.
    1. Tahun 2000 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 85% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL).
    2. Tahun 2001 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 90% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL).
    3. Tahun 2002 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 100% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL), dengan fleksibilitas.
    4. Tahun 2003 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 100% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL), tanpa fleksibilitas.
  • Untuk ASEAN-4 (Vietnam, Laos, Myanmar dan Cambodja) realisasi AFTA dilakukan berbeda yaitu :
  • Vietnam tahun 2006 (masuk ASEAN tanggal 28 Juli 1995).
  • Laos dan Myanmar tahun 2008 (masuk ASEAN tanggal 23 Juli 1997).
  • Cambodja tahun 2010 (masuk ASEAN tanggal 30 April 1999).

5. Kriteria Suatu Produk Untuk Menikmati Konsesi CEPT

  • Produk terdapat dalam Inclusion List (IL) baik di Negara tujuan maupun di negara asal, dengan prinsip timbale balik (reciprosity). Artinya suatu produk dapat menikmati preferensi tarif di negara tujuan ekspor (yang tentunya di negara tujuan ekspor produk tersebut sudah ada dalam IL), maka produk yang sama juga harus terdapat dalam IL dari negara asal.
  • Memenuhi ketentuan asal barang (Rules of Origin), yaitu cumulative ASEAN Content lebih besar atau sama dengan 40%.
  • Perhitungan ASEAN Content adalah sebagai berikut :
Value of Undetermined Origin Materials, Parts of Produce +  

Value of Imported Non-ASEAN Material, Parts of Produce

 

 

X 100%<60%

FOB Price
  • Produk harus disertai Certificate of Origin Form D, yang dapat diperoleh pada Kantor Dinas atau Suku Dinas Perindustrian dan Perdagangan di seluruh Indonesia.

6. Beberapa istilah dalam CEPT-AFTA

  1. Fleksibilitas adalah suatu keadaan dimana ke-6 negara anggota ASEAN apabila belum siap untuk menurunkan tingkat tarif produk menjadi 0-5% pada 1 Januari 2002, dapat diturunkan pada 1 Januari 2003. Sejak saat itu tingkat tarif bea masuk dalam AFTA sebesar maksimal 5%.
  2. CEPT  Produk List
  • Inclusion List (IL) : daftar yang memuat cakupan produk yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
  • Produk tersebut harus disertai Tarif Reduction Schedule.
  • Tidak boleh ada Quantitave Restrictions (QRs).
  • Non-Tarif Barriers (NTBs) lainnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
  • Temporary Exclusion (TEL) : daftar yang memuat cakupan produk yang sementara dibebaskan dari kewajiban penurunan tarif, penghapusan QRs dan NTBs lainnya serta secara bertahap harus dimasukkan ke dalam IL.
  • Sensitive List (SL) : daftar yang memuat cakupan produk yang diklasifikasikan sebagai Unprocessed Agricultural Products. Contohnya beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh, serta produk tersebut juga harus dimasukkan ke dalam CEPT Scheme tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama. Contohnya Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand harus telah memasukkan produk yang ada dalam SL ke dalam IL pada tahun 2010, Vietnam pada tahun 2013, Laos dan Myanmar pada tahun 2015, serta Kamboja pada tahun 2017.
  • General Exception (GE) List : daftar yang memuat cakupan produk yang secara permanen tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam CEPT Scheme dengan alas an keamanan nasional, keselamatan/kesehatan umat manusia, binatang dan tumbuhan, serta pelestarian objek arkeologi, dan sebagainya (Article 9b of CEPT Agreement). Contohnya antara lain senjata, amunisi, da narkotika. Produk Indonesia dalam GE List hingga saat ini sebanyak 96 pos tarif.

7. Beberapa Protocol/Article yang dapat dipakai untuk mengamankan produk Indonesia

  1. Protocol Regarding the Implementation of the CEPT Scheme Temporary Exclusion List

Dapat digunakan sebagai acuan untuk menarik kembali produk industri yang telah dimasukkan ke dalam IL terakhir tahun 2000 atau Last Tranche. Konsekuensi penarikan kembali suatu produk dari IL harus disertai dengan kompensasi.

  1. Article 6 (1) dari CEPT Agreement

Dapat digunakan sebagai acuan untuk menarik kembali produk yang telah dimaukkan ke dalam Skema CEPT-AFTA, karena adanya lonjakan impor dari negara anggota ASEAN lainnya yang menyebabkan atau mengancam kerugian yang serius terhadap industri dalam negeri.

  1. Protocol on Special Arrangement for Sensitive and Highly Sensitive Products.

Dapat digunakan sebagai acuan untuk memasukkan produk yang diklasifikasikan ke dalam Highly Sensitive (seperti beras dan gula bagi Indonesia).

 8. Jadwal Penurunan dan atau Penghapusan Tarif Bea Masuk

 

         a. Inclusion List

Negara Anggota AFTA Jadwal Penurunan/Penghapusan
ASEAN -6
  1. Tahun 2003 : 60% produk dengan tarif 0%
  2. Tahun 2007 : 80% produk dengan tarif 0%
  3. Tahun 2010 : 100% produk dengan tarif 0%
Vietnam
  1. Tahun 2006 : 60% produk dengan tarif 0%
  2. Tahun 2010 : 80% produk dengan tarif 0%
  3. Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%
Laos dan Myanmar
  1. Tahun 2008 : 60% produk dengan tarif 0%
  2. Tahun 2012 : 80% produk dengan tarif 0%
  3. Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%
Kamboja
  1. Tahun 2010 : 60% produk dengan tarif 0%
  2. Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%

 

        b. Non Inclusion list

  • TEL harus dipindah ke IL
  • GEL dapat dipertahankan apabila konsisten dengan artikel 9 CEPT Agreement, yaitu untuk melindungi :
  • Keamanan Nasional
  • Moral
  • Kehidupan Manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dan kesehatan
  • Benda-benda seni, bersejarah dan purbakala

 

ASEAN-Korea Free Trade Area

Dasar Hukum

  1. Keputusan yang dibuat pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Korea yang diselenggarakan pada 30 November 2004 di Vientiane, Republik Demokratik Rakyat Laos, telah dihasilkan Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Kerjasama Komprehensif antara ASEAN dan Korea, untuk membentuk suatu ASEAN-Korea Free Trade Area pada tingkat paling awal dengan pemberlakuan yang khusus dan berbeda dan fleksibilitas tambahan untuk Negara-negara Anggota ASEAN yang baru yaitu Kerajaan Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos, Uni Myanmar dan Republik Sosialis Vietnam dan berdasarkan deklarasi bersama, masing-masing kepala negara/pemerintahan ASEAN dan Republik Korea penandatanganan Kerangka Kesepakatan Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Pemerintah negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Korea pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.
  2. Diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement On The Comprehensive Economic Co Operation Among The Government Of The Members Countries Of The Assosiaciation of South East Asian Nation and The Republic of Korea  (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Korea);

Penetapan/penurunan tarif bea masuk

Modalitas adalah suatu pola penurunan dan atau penghapusan tarif bea masuk secara bertahap dan terjadual berdasarkan kategori sensitifitas produk dalam menghadapi liberalisasi perdagangan barang.  Dengan demikian, modalitas secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu kategori produk dan jadual penurunan dan atau penghapusan tarif bea masuk atas produk-produk tersebut.

Kategori Produk:

  1. Normal Track (NT), yaitu untuk produk-produk yang berdasarkan sensitifitasnya telah siap menghadapi liberalisasi sehingga penurunan dan penghapusan tarif bea masuknya berlangsung secara cepat tapi terjadual.
  2. Sensitive Track (ST), yaitu untuk produk-produk yang berdasarkan sensitifitasnya belum siap menghadapi liberalisasi dalam waktu segera.  Sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian perdagangan barang, jumlah maksimum barang yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ST ini untuk ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand) dan Korea adalah sebanyak 10% dari keseluruhan pos tarif pada HS level 6-digit dan 10% dari nilai impor individu negara-negara ASEAN-6 dari Korea dan sebaliknya berdasarkan statistik perdagangan tahun 2004.

Produk-produk yang termasuk ke dalam kategori ST ini selanjutnya dibagi dua, yaitu:

  1. Sensitive List (SL) dan
  2. Highly Sensitive List (HSL) dengan jumlah maksimum untuk negara-negara ASEAN-6 dan Korea sebanyak 200 pos tarif pada HS level 6-digit atau 3% dari keseluruhan pos tarif berdasarkan digit HS yang dipilih oleh masing-masing negara anggota ini dan 3% dari nilai impor individu negara-negara anggota ASEAN-6 dari Korea dan sebaliknya berdasarkan statistik perdagangan tahun 2004.  Produk-produk HSL dibagi atas lima kelompok sebagai berikut:
    • Kelompok A, yaitu untuk produk-produk yang tarif bea masuknya diturunkan menjadi 50%
    • Kelompok B, yaitu untuk produk-produk yang tarif bea masuknya diturunkan sebanyak 50%,
    • Kelompok C, yaitu untuk produk-produk yang tarif bea masuknya diturunkan sebanyak 50%,
    • Kelompok D, yaitu untuk produk-produk yang dibebani Tariff Rate Quota (TRQ).  TRQ merupakan tarif yang dibebankan atas produk yang diimpor berdasarkan quota, dimana impor atas jumlah yang belum mencapai quota berlaku tarif preferensi sesuai dengan skema penjajian perdagangan barang ini, dan apabila quota sudah terlewati akan berlaku tarif yang berlaku umum (MFN) di negara pengimpor.
    • Kelompok E (Exclusion), yaitu untuk produk-produk yang tidak akan mengalami liberalisasi penurunan/penghapusan tarif bea masuk dalam skema perjanjian perdagangan barang ini.  Jumlah maksimum produk yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah sebanyak 40 pos tarif pada HS level 6-digit.

Jadual Penurunan dan atau Penghapusan Tarif Bea Masuk

Berdasarkan kategori di atas, ditentukan jadual penurunan dan penghapusan tarif bea masuk masing-masing sebagai berikut:

Normal Track:

Tingkat tarif bea masuk (=X) Jangka Waktu tidak melewati 1 Januari
2006 2007 2008 2009 2010
X  ≥ 20% 20 20 12 12 5
15% ≤ X <20% 15 15 8 8 5
10% ≤ X <15% 10 10 8 8 5
5% < X <10% 5 5 5 5 0
X  ≤  5% Tetap Tetap Tetap 0 0

Batasan Penurunan/Penghapusan Tarif Bea Masuk NT:

Korea:

    • Akan menghapus paling sedikit  70% pos tarifnya  menjadi 0% pada saat entry into force
    • Akan menghapus paling sedikit 95% pos tarifnya menjasi 0% paling lambat 1 Januari 2008
    • Akan menghapus seluruh pos tarif menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2010
ASEAN-6

    • Akan menurunkan 50% pos tarifnya menjadi 0-5% paling lambat 1 Januari 2007
    • Akan menghapus paling sedikit 90% pos tarifnya menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2009
    • Akan menghapus seluruh pos tarifnya menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2010 dengan fleksibilitas maksimum 5% pos tarif dihapus menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2012

Catatan: khusus untuk Indonesia dan Filipina fleksibilitas ditambah menjadi 10%

    • Akan menghapus seluruh pos tarif  menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2012

Sensitive Track

  1. Sensitive List: ASEAN-6 dan Korea akan menurunkan tarif bea masuknya menjadi 20% paling lambat pada tanggal 1 Januari 2012 dan selanjutnya menjadi 0-5% paling lambat pada tanggal 1 Januari 2016.
  2. Highly Sensitive List: ASEAN-6 dan Korea akan menurunkan tarif bea masuknya berdasarkan kelompok berikut:

Kelompok A: tarif bea masuknya diturunkan menjadi 50% paling lambat pada tanggal 1 Januari 2016,

      • Kelompok B: tarif bea masuknya diturunkan sebanyak 20% paling lambat pada tanggal 1 Januari 2016,
      • Kelompok C: tarif bea masuknya sebanyak 50% paling lambat pada tanggal 1 Januari 2016,
      • Kelompok D: tarif bea masuknya diturunkan sejak saat entry into force sesuai dengan jadual yang ditentukan tersendiri, dan
      • Kelompok E: masing-masing pihak berhak mempertahankan tarif bea masuknya yang berlaku umum (MFN).

 ASEAN – CHINA FREE TRADE AREA

Dasar Hukum

  1. Keputusan yang dibuat oleh para kepala negara/ pemerintahan ASEAN dan China untuk membentuk ‘Kerangka kerja mengenai kerjasama ekonomi dan pendirian suatu kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Area/ACFTA)” pada pertemuan puncak ASEAN dan Republik Rakyat China di Bandar Seri Begawan, Brunei pada tanggal 6 Nopember 2001 Penandatanganan “Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat China” di Phnom Penh, kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002 ;
  2. Diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement On The Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association of South East Asian Nations and The People’s Republic of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Pemerintah Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Korea);

Penetapan/penurunan tarif bea masuk

Kategori Produk

  1. Fast Track (Jalur cepat) yang lebih dikenal dengan Early Harvest Package (EHP)
  2. Normal Track (Jalur normal)
  3. Sensitive Track (Jalur sensitif) yang terdiri dari:
    • Sensitive List (SL)
    • Highly Sensitive List (HSL)
    • General Exclusion List (GEL)

Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk

Early Harvest Package (EHP)

Tingkat tarif bea masuk (=X) Jangka Waktu tidak melewati:
1 Jan 2004 1 jan 2005 1 Jan 2006
X ≥ 15% 10% 5% 0%
5% ≤ X < 15% 5% 0% 0%
X < 5% 0% 0% 0%

Normal Track (NT)

Tingkat tarif bea masuk (=X) Jangka Waktu tidak melewati 1 Jan uari :
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
X >20% 20 20 12 12 5 0/5* 0/5* 0/0*
15%≤X<20% 15 15 8 8 5 0/5* 0/5* 0/0*
10%≤X<15% 10 10 8 8 5 0/0 0/0 0/0*
5%<X<10% 5 5 5 5 0 0 0 0/0*
X ≤ 5% Tetap Tetap Tetap Tetap 0 0 0 0/0*

Sensitive List (SL)

  1. SL : Tarif BM akan diturunkan/dihapuskan menjadi 0-20% pada tahun 2012 s.d. 2017 dan menjadi 0-5% mulai tahun 2018
  2. HSL : Tarif BM akan diturunkan/dihapuskan menjadi 0-50% mulai tahun 2015
  3. GEL : Tarif yang berlaku adalah MFN

Indonesia Japan Economic Partnership Agreement

Dasar Hukum

  1. Perjanjian Kerjasama ini ditandatangani oleh Presiden RI dan Perdana Menteri Jepang, pada tanggal 20 Agustus 2007.
  2. Diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pengesahan Agreement between the Republic of Indonesia and Japan for an Economic Partnership (Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi);

Penetapan/penurunan tarif bea masuk

  1. Fast –track (Kategori A)
  2. Bertahap (Kategori B dan P dengan catatan), dan
  3. Pengecualian (Kategori X)

Modalitas Penurunan Tarif Bea Masuk Indonesia Jepang

Kategori Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk
A Tarif Bea Masuk diturunkan menjadi 0% pada tanggal implementasi.
B3 Tarif Bea Masuk diturunkan menjadi 0% dalam 4 tahap dengan tingkat penurunan yang sama setiap tahun.  Penurunan tahap pertama  dimulai pada tanggal implementasi.
B5 Tarif Bea Masuk diturunkan menjadi 0% dalam 6 tahap dengan tingkat penurunan yang sama setiap tahun.  Penurunan tahap pertama  dimulai pada tanggal implementasi.
B7 Tarif Bea Masuk diturunkan menjadi 0% dalam 8 tahap dengan tingkat penurunan yang sama setiap tahun.  Penurunan tahap pertama  dimulai pada tanggal implementasi.
B10 Tarif Bea Masuk diturunkan menjadi 0% dalam 11 tahap dengan tingkat penurunan yang sama setiap tahun.  Penurunan tahap pertama  dimulai pada tanggal implementasi.
B15 Tarif Bea Masuk diturunkan menjadi 0% dalam 16 tahap dengan tingkat penurunan yang sama setiap tahun.  Penurunan tahap pertama  dimulai pada tanggal implementasi.
X Dikecualikan dari penurunan tarif Bea Masuk, berlaku tarif MFN.
P Tarif Bea Masuk diturunkan dengan mengikuti catatan-catatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II .

Catatan-Catatan Modalitas Penurunan Tarif Bea Masuk Indonesia Jepang

Catatan Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk
1 Terhadap barang dengan tarif bea masuk 5% diturunkan menjadi 0% secara bertahap dengan tingkat penurunan yang sama, dengan ketentuan:

  • Penurunan pada tahun pertama berlaku pada tanggal implementasi.
  • Penurunan tahunan berikutnya diterapkan setiap tanggal 1 Januari.
  • Menjadi 0% pada tanggal 1 Januari 2010.
2 Diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri tentang skema User Specific Duty Free Scheme (USDFS).
3 Tingkat tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  • 15% pada tanggal implementasi.
  • 12% pada tanggal 1 Januari 2016.
4 Terhadap barang dengan tarif bea masuk 5% diturunkan menjadi 0% secara bertahap dengan tingkat penurunan yang sama, dengan ketentuan:

  • Penurunan pada tahun pertama berlaku pada tanggal implementasi.
  • Penurunan tahunan berikutnya diterapkan setiap tanggal 1 Januari.
  • Menjadi 0% pada tanggal 1 Januari 2009.
5 Tingkat tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  • 20% pada tanggal implementasi.
  • 16% pada tanggal 1 Januari 2016.
6 Tingkat tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  • 10% pada tanggal implementasi.
  • 5%; Jika sejak tanggal 1 Januari 2016, tarif Bea Masuk AKFTA < IJ-EPA, maka Tarif Bea Masuk yang berlaku adalah tingkat tarif Bea Masuk yang lebih rendah.
7 Terhadap barang dengan tarif bea masuk 10% diturunkan menjadi 0% secara bertahap dengan tingkat penurunan yang sama, dengan ketentuan:

  • Penurunan pada tahun pertama berlaku pada tanggal implementasi.
  • Penurunan tahunan berikutnya berlaku setiap tanggal 1 Januari.
  • Menjadi 0% pada tanggal 1 Januari 2010.
8 Tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  • 10% pada tanggal implementasi
  • 8% pada tanggal 1 Januari 2009
  • 6% pada tanggal 1 Januari 2010.
  • 4% pada tanggal 1 Januari 2011
  • 0% pada tanggal 1 Januari 2012
9 Terhadap barang dengan tarif bea masuk 15% diturunkan menjadi 0% secara bertahap dengan tingkat penurunan yang sama, dengan ketentuan:

  •  Penurunan pada tahun pertama berlaku pada tanggal implementasi.
  •  Penurunan tahunan berikutnya berlaku setiap tanggal 1 Januari
  •  Menjadi 0% pada tanggal 1 Januari 2011.
10 Terhadap barang dengan tarif bea masuk 8% diturunkan menjadi 0% secara bertahap dengan tingkat penurunan yang sama, dengan ketentuan:

  •  Penurunan pada tahun pertama berlaku pada tanggal implementasi.
  •  Penurunan tahunan berikutnya berlaku setiap tanggal 1 Januari
  •  Menjadi 0% pada tanggal 1 Januari 2009.
11 Tingkat tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  • 8% pada tanggal implementasi.
  • 5%; Jika sejak tanggal 1 Januari 2016, tarif Bea Masuk AKFTA < IJ-EPA, maka Tarif Bea Masuk yang berlaku adalah tingkat tarif Bea Masuk yang lebih rendah.
12 Tingkat tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  •   8% pada tanggal implementasi.
  •   6,4% pada tanggal 1 Januari 2016.
13 Tingkat tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  • 60% pada tanggal implementasi.
  • 20% pada tanggal 1 Januari 2012.
  • 5%; Jika sejak tanggal 1 Januari 2016, tarif Bea Masuk AKFTA < IJ-EPA, maka Tarif Bea Masuk yang berlaku adalah tingkat tarif Bea Masuk yang lebih rendah.
14 Tingkat tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  • 45% pada tanggal implementasi.
  • 20% pada tanggal 1 Januari 2012.
  • 5%; Jika sejak tanggal 1 Januari 2016, tarif Bea Masuk AKFTA < IJ-EPA, maka Tarif Bea Masuk yang berlaku adalah tingkat tarif Bea Masuk yang lebih rendah.
15 Tingkat tarif Bea Masuk diturunkan dengan ketentuan menjadi:

  • 40% pada tanggal implementasi.
  • 20% pada tanggal 1 Januari 2012.
  • 5%; Jika sejak tanggal 1 Januari 2016, tarif Bea Masuk AKFTA < IJ-EPA, maka Tarif Bea Masuk yang berlaku adalah tingkat tarif Bea Masuk yang lebih rendah.

Tinggalkan komentar