Arsip untuk April, 2013

Coretan kecil bersanding dengan segelas Kopi :

“Menantang kaum intelektual muda Indonesia untuk bangkit dari zona kemapanannya…!!!”

 

============================================================================

“…Didikan Barat superieur, karena ilmoenja teratoer dan techniknja tinggi. Terboekti djoega di Djepang jang mengambil didikan Barat oentoek pemoekoel Barat sendiri; terboekti djoega di Sovjet-Ruslang jang menjesoeaikan didikan Barat kepada toedjoean masjarakat sendiri…. Ilmoe mendidik pengetahoean dan pengetahoean mendjadi pangkal keberanian oentoek membantah apa jang salah dan menoentoet apa jang dipandang hak dan adil. Sebab itu, onderwijs jang sempurna mesti melahirkan kaoem revolutionair dalam tiap-tiap masjarakat jang pintjang kedudukannja. Ini adalah soeatoe hoekoem alam…”

23“Semoeanja ini haroeslah menjadi pertimbangan kepada pemoeda Indonesia jang mendapat didikan Barat. Sebab itu, ‘pemoeda dalam krisis’ berarti pemoeda terpaksa mengambil kepoetoesan : maoekah kembali poelang ke masjarakat sendiri? Dan disini tidak ada entweder…oder! Tidak ada ini atau itu!”

(Mohammad Hatta, 1933)

Di Indonesia, kaum intelektual sulit menjalankan fungsi ini. Maklum, sebagian besar kaum intelektual Indonesia adalah keluaran Universitas.

Sementara hampir semua Universitas di Indonesia telah kehilangan daya kritisnya sejak orde baru hingga sekarang ini. Ide-ide yang dikembangkan di Universitas hanyalah ide-ide yang sejalan dengan kepentingan penguasa.

Bung Hatta, salah satu pemimpin Indonesia yang cukup faham ilmu ekonomi, pernah menegaskan, seorang sarjana ekonomi atau ekonom yang akan hidup di tengah rakyat haruslah punya tanggung jawab intelektual dan moral.

Seorang ekonomi harus cinta kebenaran dan memihak pada rakyatnya.

“Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, tetapi manusia yang berkarakter tidak bisa diperoleh begitu saja,” kata Bung Hatta.

Lantas, Intelektual yang bagaimana yang diharapkan?

Ketika remaja dan muda-mudi di kota dilanda kegalauan luar biasa atas identitas dan jati diri mereka, maka muda-mudi di desa terhimpit struktur ekonomi yang memaksa mereka terhempas di pojok-pojok pabrik garmen dan tekstil yang pengap dan terlempar menjadi pekerja-pekerja ilegal ke luar negeri.Ayo Berjuang

Teknologi informasi dan komunikasi yang digdaya bukannya menolong mereka keluar dari krisis, melainkan malah mengikat mereka lebih kuat dalam jeratan konsumerisme dan hedonisme.

Mereka yang berjuluk aktivis pun menghilang ditelan kenikmatan duduk dalam birokrasi, menjadi politisi, pengusaha atau pegawai negeri. Jika kurang beruntung, mereka pun menjual intelektualitas dan idealismenya menjadi makelar kasus, mafia peradilan, mafia proyek dan pekerjaan lainnya untuk menghilangkan status sebagai pengangguran. “Inilah realita hidup”, kata mereka kecut.

Mereka menganggap lawan sebagai kawan, dan kawan sebagai lawan.

karikatur partaiSemua terjadi menjadi bahan baku hantam antar pemuda, Antar Mahasiswa, Antar Aktivis hingga koruptor yang setiap hari adu arogansi dengan koruptor yang lain. Buntu. . .!!!

Sadar atau tidak, akal sehat kaum muda kita terus digerogoti setiap hari. Pendidikan yang seharusnya mencerahkan dan menyehatkan akal justru menjadi mesin-mesin pembunuh akal sehat setiap hari.

Jika pemimpin-pemimpin muda saat ini mau menjaga integritas dan kredibilitasnya ditengah krisis moral yang melanda negeri, maka bukan tidak mungkin asa perubahan ke arah lebih baik itu masih menyala.

Kaum muda Indonesia adalah potensi yang siap digerakkan untuk perjuangan mencapai kejayaan bangsa, tinggal kemauan dari para intelektual, aktivis, dan pemimpin-pemimpin muda ini untuk menjadi inspirator dan teladan nyata bagi mereka.

Barangkali kita masih ingat dengan retorika dari Bung Karno yang termasyur itu, “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku goncang dunia”.

Pada kesempatan lain Proklamator kita itu juga pernah berkata “barang siapa dicintai pemuda hari ini, maka ia akan menggenggam masa depan”.

Namun Saat ini Kita membutuhkan lebih dari sepuluh pemuda untuk menjadi inspirasi untuk berprestasi, inspirasi dalam gerakan anti korupsi, inspirasi dalam penyelamatan bumi, inspirasi untuk kewirausahaan sosial, inspirasi dalam politik santun, dan inspirasi di berbagai bidang lainnya.

Sialnya, kita tidak bisa menunggu inspirasi itu datang dari orang lain, dan Menjadi Pelacur-Pelacur Intelektual bukanlah Sebuah Pilihan…?!Perjuangan

Ikan busuk bukan dari ekornya, melainkan dari kepalanya. Jika pemimpin-pemimpin muda saat ini mau menjaga integritas dan kredibilitasnya ditengah krisis moral yang melanda Negeri, maka bukan tidak mungkin asa perubahan ke arah lebih baik itu masih menyala.

Semua Hanya ada satu pilihan : kita sendiri yang harus memulai. . .!!!

Gerakan Intelektual Islam dari Sang Reformis

Di Hari Libur, Sangat indah menikmati waktu istirahat Bersama segelas kopi hitam dan sebatang rokok yang baru saja ku bakar, dan hal inilah yang dapat membuatku Menghayalkan sebuah Kisah Perjuangan Hidup, , ,

Begini Kisahnya,,,

“Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama KEBUDAYAAN BARAT.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari ANJING KURAP.Kesatria Salib
Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang DIPUJA orang melebihi KEBUDAYAAN BARAT sehingga TERKADANG IA MELEBIHI TUHAN.”

Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya sendiri, Maka dipandanglah KEBUDAYAAN BARAT itu oleh mereka Dengan Penuh Rasa Najis, serta Dipakailah Barang-Barang Kebudayaan Barat itu Dengan Penuh Rasa Sayang Dan Kebanggan.

Pada waktu itu Kaum Muslim mempertentangkan ISLAM dengan KEBUDAYAAN BARAT seperti Mempertentangkan Cahaya dengan Kegelapan atau Malaikat dengan Setan.

Padahal sampai batas tertentu, para pelaku KEBUDAYAAN BARAT itu sendirilah yang dengan ketekunan amat tinggi MELAKSANAKAN AJARAN ISLAM.

Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban IQRA’, meskipun kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya.

Tak ada yang melebihi mereka dalam kesungguhan Menggali Rahasia Ilmu dan Mengungkap Kemampuan-Kemampuan Alam. Para Raja & Ratu Kebudayaan Barat dan KesatrianyaMereka telah membawa seluruh umat manusia memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya mereka memerlukan perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung saat itu juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia untuk mengetahui yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali lebih lembut dari debu.

Akhirnya timbul sebuah Pertanyaan,,,

“Apakah Mereka Dimuliakan Allah ?,”Memerangi Indonesia

Jawabanya pasti “Benar”,,,

Namun, Apabila mereka meletakkan hasil IQRA’ itu di dalam kerangka Bismi Rabbika-Lladzi Khalaq, & Seandainya saja mereka mempersembahkan ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah, Serta Seandainya saja Mereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam Politik, Pemerasan Dalam Ekonomi, Sakit Jiwa Dalam Kebudayaan, serta Kemudian Kebuntuan Dan Keterpencilan Dalam Peradaban.”

“Jadi, rupanya Apa yang mereka lakukan?”

Hasil dari fakta yang ada, perangMereka Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka ketahui sebagai berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak mereka perlukan, pura-pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan binatang.”

“Anjing Kurap,,,!!!” Demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki Mereka, tapi kebanyakan dari Kaum Muslim itu bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada kebudayaan yang semacam itu.”

Mereka Itulah yang saat ini sering kita disebut “Munafik !!!”sex bebas

Tidak jauh berbeda bahwa seperti kita inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian cakrawala ilmu anugerah Allah Kita hanya mengembangkan satu saja, yakni Kemampuan Untuk Mengutuk Dan Menghardik.

“Tetapi kemudian karena tak ada sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka para kaum muslimin itupun pergi memencilkan diri:

Melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan kampung-kampung sendiri – di pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan mereka sendiri.

Mereka menjadi bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan medan untuk menciptakan dunianya sendiri.

Mereka ini mungkin kita pandang Kerdil,

tetapi sesungguhnya itu masih lebih baik dibandingkan kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis ‘Kalian sok suci!’ atau ‘Kami tak mau munafik!’

Sementara yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah Kekufuran Perilaku Dan Pilihan.penjajah

Namun demikian tetaplah Allah Mahabesar dan Maha adil, karena tetap pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang mencoba Merintis Perlawanan di tengah medan perang.

Mereka menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih.

Mereka Ber-IQRA’, Membaca Keadaan, Menggali dan Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Kesanggupan Mengolah Sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam Bismi Rabbi. Ilmu Ditimba Dengan Kesadaran Dan Ketakjuban Ilahiah. Teknologi Ditaruh Sebagai Batu-Bata Kebudayaan Yang Bersujud Kepada Allah.”

buku-jendela-dunia“Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim, yaitu “Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya Intelektualisme-Transendental, Intelektualisme-Religius, atau GERAKAN INTELEKTUAL ISLAM meskipun Kaum Muslim sendiri menyebutnya Gerakan Intelektual  itu saja – sebab Intelektualitas dan Intelektualisme Islam pastilah Religius dan Transendental.

“Itu IQRA’ namanya. Gerakan IQRA’, yang ketika sesudah dilakukan oleh Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam, Akhirnya kita ketahui Menjadi Sumber Pengembangan KEBUDAYAAN BARAT.”Buku Jendela Dunia copy

“Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, – kata Tuhan – adalah orang-orang yang berselimut. Mudatstsirun.

Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai kekuatan tak Bismi Rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.

Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas dengan lega.”

“Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah berfirman QUM! Berdirilah.
Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari ketergantungan dan ketertindihan.
Untuk tiba ke tahap mandiri, seseorang harus keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak akan bisa berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya serta terbungkam mulutnya.”

LawanFirman berikutnya adalah Fa-Andzir! Berilah Peringatan. Lontarkan Kritik, Teguran, Saran, Anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol segala sesuatu yang wajib dikontrol.Kita

Tapi Harus Ingat…!!! Syarat untuk sanggup memberi peringatan ialah Kemampuan Untuk MANDIRI. Syarat Untuk Mandiri ialah Terlebih Dahulu Keluar Dari Selimut.
Namun pada masa itu, betapa banyak nenek moyang kita yang tak memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal belum bisa berdiri tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih terbungkus dalam selimut … “.

============================================>>>>>>>>
Tanpa aku sadari Aku tertawa sendiri dan menghisap Rokok yang Apinya mati,,,!!!
Akhirnya aku Sadar kembali, Ternyata Kisah dalam renungan kesendirian ini adalah sebuah kisah yang berasal dari buku-buku kuliahku, yang baru saja aku baca tadi malam”  Hahahahahaha….hahahahhahaa….hahahaha…..                                                                  ***EAN***

Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia. Pertama, benarnya sendiri. Kedua, benarnya orang banyak. Dan, ketiga kebenaran hakiki (Kebenaran Sejati).

Gerakan Intelektual Islam dari Sang Reformis

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat BERBAHAYANYA JENIS KEBENARAN YANG PERTAMA. Artinya. orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini bisa berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa OTORITARIANISME, DIKTATORISME, ANARKISME, Bahkan Pada Banyak Hal Juga Berlaku Pada MONARKHISME ATAU TEOKRASI.

Benarnya sendiri melahirkan Fir’aun-Fir’aun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk Fir’aun-Fir’aun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi pada kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.

Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan di mana para pelaku demokrasi menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri mengenai demokrasi.
Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati –ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan– ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf.

Padahal DEMOKRASI adalah tingkat kebenaran yang lebih tinggi, yakni benarnya orang banyak. Demokrasi adalah LOGO-nya kehidupan modern. Ia bahkan melebihi segala Agama, bahkan diletakkan ‘lebih tinggi’ dari Tuhan.

Tapi, apakah orang banyak pasti benar?

Meskipun kebenaran mayoritas itulah pencapaian tertinggi yang bisa dibayangkan oleh ilmu pengetahuan politik yang paling rasional?

Bukankah sejarah ummat manusia juga mencatat kengerian terhadap diktatorisme mayoritas?

Bagaimana kalau kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak punya kemampuan untuk memilih mana yang benar, mana yang baik, mana tokoh, mana pemimpin, mana panutan, mana politisi, mana NEGARAWAN, bahkan mana Ulama, mana Sufi dan lain sebagainya – sebagaimana tragedi besar besar panjang yang hari-hari ini sedang dialami oleh bangsa Indonesia?

Kita sangat mantap membangun proses demokratisasi, memfokuskan diri pada ‘suara rakyat’, atau dengan kata lain: BENARNYA ORANG BANYAK. BUKAN KEBANYAKAN WARGA SUATU SUKU MENGANGGAP DAN
MEYAKINI BAHWA MEMBUNUH, MEMENGGAL KEPALA, MENCINCANG-CINCANG TUBUH DAN MEMUSNAHKAN SUKU YANG LAIN ADALAH KEBENARAN?

Belum lagi kerepotan kita dengan para PENCOLENG ELITE yang ke mana-mana mengatakan bahwa ia menggenggam kebenaran rakyat banyak, sehingga menyebut dirinya dan orang lain dengan tolol ikut menyebutnya demokrat.

Benarnya orang banyak sangat penuh kelemahan dan sama sekali tidak mengandung jaminan keselamatan di antara para pelakunya, bahkanpun bagi pelaku diktatorisme mayoritas itu sendiri.

BENARNYA ORANG BANYAK harus disangga oleh sangat banyak faktor lain: Kematangan Budaya, Tegaknya Akal Dan Kejujuran, Pendidikan Yang Memadai, Kedewasaan Mental Kolektif Dan Lain sebagainya.

Demokrasi tidak bisa berdiri sendiri.
DEMOKRASI ADALAH ILMU YANG BELUM DEWASA DAN PENGETAHUAN YANG MASIH TIMPANG TERHADAP KENYATAAN MANUSIA. . .!!!  ***EAN***

Curahan hati dari Seorang pembantu rumah tangga :

“Untuk mengurangi beban saya sebagai anak yang tersisih dari pergaulan dengan teman-teman seusia saya, karena rendahnya martabat saya sebagai pembantu rumahtangga”, katanya.

Ia menulis bahwa kemanapun ia pergi, di manapun ia duduk, orang-orang di sekelilingnya memandang rendah, menganggap saya tak ada harga di mata mereka.

Curahan Hati“Orang-orang yang terhormat dan kaya itu hanya punya satu hal untuk saya, yaitu PERINTAH…!

Mereka menindas dan memeras orang lemah, hanya mulutnya saja yang manis.
Padahal kalau dilihat dari segi pengetahuan, tentu juragan lebih punya kasih sayang kepada sesama manusia dibanding yang dimiliki orang bodoh macam saya”.

=======>>>Kita memperoleh dua pelajaran ilmu sosial dan psikologi dari kalimatnya itu.

# Pertama, bahwa masyarakat kita yang sudah modern dan maju, sudah melewati PJPT-1, masih menganggap rendah manusia hanya karena ia berstatus sebagai pembantu rumah-tangga.

# Kedua, ternyata tingginya tingkat pendidikan dan luasnya ilmu seseorang, tidak membuat kasih sayang sosialnya meningkat.

Pada pandangan saya, yang pertama itu ironis, sedangkan yang kedua sesat.

…….Selanjutnya pembantu rumahtangga kita itu mengatakan,

“Juragan saya jelas orang yang beragama, sehingga tentunya ia berkasih sayang dan suka menolong sesama manusia, terutama yang lemah dan miskin. Juragan
Tapi kenyataannya juragan tidak demikian.
Orang miskin hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhannya”.

Ia menulis, juragannya tidak takut kepada Allah. Hidupnya hanya mengunggulkan harta, kecantikan dan kemewahan saja.

Apakah di akherat nanti semua bisa menolongnya?
Kalau mereka tahu itu kenapa mereka melanggarnya?

“Pembantu tidak dapat tanda jasa, tanpa balasan kasih sayang, padahal jelas jam tiga pagipun ia selalu siap diperintah.

juragankuPembantu hanya wajib dimarahi, diperintah, diancam, dituduh semaunya, tidak boleh membantah, tidak boleh menjawab satu katapun meskipun dalam posisi yang benar.

####___Sangat sedih hati saya, kalau posisi benar tapi dituduh salah”.

=======>>> Kita peroleh lagi dua pelajaran. # Pertama ilmu agama, terutama masalah akhlaq.

#Dan kedua, ilmu politik dan kekuasaan.

Dan empat pelajaran itu lahir tidak dari perpustakaan, referensi atau buku-buku, melainkan bersumber dari pengalaman otentik, dari keringat dan airmata realitas, dari nurani yang jujur dan pikiran yang jernih.

=====#### itu ilmu sejati. Mutu dan pahalanya sepuluh kali lipat dibanding dosen yang mentransfer kalimat-kalimat dari buku ke diktat para mahasiswanya.

=====>>>>Jadi, apakah ia bodoh? Apakah ia rendah? Apakah ia lebih bodoh, lebih rendah, lebih tidak punya harga dibanding kita serta juragannya?

Pembantu itu berkata lagi…
…….Juragan saya itu mengumpamakan pembantu rumahtangga seperti binatang yang tidak punya puser.

“Kalau sudah begitu saya hanya bisa menangis. Ya Alloh, berilah aku pekerjaan, sehingga aku bisa meringankan beban Bapak dan Ibuku”, Pembantu itu berdo’a.menangis

dan diapun sambil bertanya kepada Alloh,,,

“kenapa saya tidak diberi kelebihan seperti Pak Habibie atau Susi Susanti sehingga saya harus menerima hal yang seperti ini?”

Akhirnya dia menemukan apa yang dia cari,,,

Tapi kalau saya melihat anak yang cacat, saya menangis. Betapa adilnya Tuhan…”.*** EAN***

***__Benarkah Persoalan Bangsa Menjadi Selesai Dengan Keterbukaan Politik

&

Kebebasan Pers..?!!!__***

Reformasi

Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis gerakan Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang “tanpa” persoalan.

Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan bangsa, melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru seperti ketimpangan sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/ martabat, politik kekuasaan yang rakus dan sombong, korupsi kolektif yang makin menguat, dan lainnya. Masalah Reformasi 1
Makin menguatnya kapitalisme pasar, industrialisme dan materialisme yang menjelma menjadi berhala, adalah beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi dimensional bangsa ini, pasca Reformasi 1998.

Yang terjadi kemudian adalah kelumpuhan budaya di berbagai bidang: masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehingga tidak berdaya secara budaya merespons secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme.

Masyarakat pun mengalami semacam degradasi nilai. Dunia politik, misalnya, tak lebih dari sekadar jual-beli kekuasaan. Dunia ekonomi tak lebih dari pasar bebas yang direstui negara untuk mengeksploitasi masyarakat.

Dunia hukum tak lebih dari mafioso pengadilan di mana rakyat gagal menemukan rasa keadilan. Dunia kesenian (khususnya kesenian massa), tak lebih dari kelangenan yang mendangkalkan selera, cita-rasa, dan pikiran.

***_Kebanggaan Menghina & Merendahkan Diri Sendiri_***

Keadaan bangsa Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya, kehilangan ukuran hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil.
Kehilangan dari kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun manusia. PNS KORUPSI
Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya, kehilangan pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak apapun saja kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda, itupun salah berat konsepnya tentang materi dan harta benda..

Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga bermartabat. Dan pangkal pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih Gadjah Mada.

Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk memelihara martabat sejarah.

Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit benar-benar mengalami “Sirno Ilang Kertaning Bumi”, kebesaran Gadjah Mada berubah menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting psikologi sejarah Bangsa Nusantara.

Hari ini, retakan itu sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia bukan hanya tidak sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang pernah mereka capai.
Bahkan ummat manusia Republik Indonesia sekarang ini tidak percaya bahwa nenek moyang mereka pernah mencapai kebesaran sejarah di muka bumi. reformasi 2
Anak-anak muda, bahkan banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara berpikir Penguasa dan Media Massa, malah mengejek setiap ucapan yang menyebut kebesaran kita di masa silam.

Hari ini bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bangsa yang hidup tenteram dengan ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri, bahkan penuh kebanggaan untuk menghina dan merendahkan dirinya sendiri.

***___Dari Garuda ke Emprit___***

Bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung Garuda menjadi burung emprit.

garudaTesis ini mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban.

Iblis –yang sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi– akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu RAKUS, MERUSAK BUMI, & SALING BERBUNUHAN.

Umat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar “tapel” –sebuah terminologi elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat.

Kekurangmampuan untuk meningkatkan kualitas diri membuat bangsa kita mengalami kemerosotan martabat.

Padahal, bangsa kita memiliki genetika unggul sebagai Burung Garuda sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam, dan berjuang (ingat sejarah kebesaran Dinasti Syailendra, Majapahit, Sriwijaya, dan lainnya).

Namun, karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas (baca kolonialisme), maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya.

Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu, dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk terbang danGARUDA 1 menerkam.

Gambaran ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki MARTABAT, KEWIBAWAAN, KEMULIAAN, & KEBESARAN, bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain.

SAATNYA MARTABAT ITU HARUS DIREBUT. !!! ***EAN_KC***

“Mengapa ada orang atau pihak yang tengah kelaparan, karena tidak ada yang dimakan?”

Ternyata untuk menjawab pertanyaan itu ada dua golongan yang berbeda menjawabnya.

KelaparanGolongan pertama menanggapi bahwa kenapa itu terjadi karena orang-orang yang tengah kelaparan itu memang pada dasarnya tingkat pendidikan rendah, maka dari itu mereka miskin ditambah lagi motivasi kerja rendah (boleh dikata malas kerja).

Golongan kedua berkeyakinan, mengapa ada orang-orang yang kelaparan itu disebabkan karena ada pihak-pihak yang sangat rakus makan, maka ada pihak lain yang tidak kebagian jatahnya.

Hal di atas sebetulnya bukan hanya melulu soal pangan, coba seandainya “kelaparan” diganti dengan “kemiskinan”, pasti tidak jauh berbeda, karena ini sangat terkait dengan cara berfikir.

Padahal cara berfikir yang akan menjadi pemandu tindakan (boleh dikata ini ilmu pasti).

Cara berfikir golongan pertama sangat jelas bahwa yang dipersalahkan malah orang yang sedang mengalami kelaparan — sudah jadi korban dipersalahkan pula (blaming the victim), boleh dibilang golongan pertama, sejak dari pikirannya saja sudah menyalahkan korban.

Kira-kira cara berfikir semacam ini akan memandu pilihan tindakan seperti apa? Yang pasti apapun pilihan tindakan (tema, metode, strategi), sasaran objeknya adalah si korban.

Anggapan bahwa sikorban itu yang bermasalah. Seandainya si korban adalah mobil pasti sudah dibawa ke bengkel untuk diperbaiki.

Paling-paling akan ada sekian program untuk orang-orang yang sedang kelaparan itu, misalnya; program training motivasi, dakwah, bantuan makanan, tambahan makanan gizi sesaat dan tindakan karitatif lainnya. Coba Anda bayangkan seandainya yang memiliki cara pandang demikian adalah orang atau pihak yang memiliki kekuasaan?

Bagi golongan kedua, jelas cara pandangnya terbalik dari cara pandang golongan pertama.

Golongan kedua sama sekali tidak berani menyalahkan mereka yang tengah kelaparan, atau kaum miskin pada umumnya. Miskin dan Kaya

Namun melihat dengan seksama; “apa yang keliru, kenapa ada seseorang yang tidak kebagian jatahnya?”,

“Apakah ada aturan main yang mempermudah pihak-pihak dengan leluasa mengambil jatah orang lain?”

Mengambil jatah orang lain dalam ukuran besar bisa disebut menguasai, mencuri, korupsi.
Menguasai sumber daya alam, mengkorup anggaran untuk kesejahteraan rakyat, menimbun barang-barang kebutuhan masyarakat.

Golongan ini tidak melihat bahwa kelaparan atau kemiskinan pada umumnya terkait dengan pendidikan rendah, dengan rendahnya motivasi. Aku Laper

Yang mendasar bahwa ada sistem yang tidak adil yang mempermudah para pencuri sehingga melahirkan kelaparan dan kemiskinan masyarakat berkepanjangan.

Maka bagi aliran ini; kelaparan ataupun kemiskinan adalah akibat dari ketidakadilan, akibat dari sistem yang mempersilahkan orang-orang atau pihak-pihak leluasa untuk mengumbar hasrat keserakahannya, membiarkan akhlak “perilaku makan” kanibalisme — makan tidak sederhana sekadar mengisi perut karena lapar.
Namun kepentingan makan ternyata dipengaruhi oleh nafsu kerakusan untuk menguasai kehidupan manusia. **TR_KC***

Merenungkan Daulat Manusia tidak pernah tuntas.
Daulat manusia terbatas sekali oleh sifat alam dalam dirinya. Terutama sekali terbatas oleh kelahirannya.

Kalau lahir sebagai orang bawah, sebagai orang miskin, sebagai orang tanpa pendidikan, atau sebagai orang perempuan, sukar untuk meningkat keatas, karena tatanan masyarakat diatur seperti tatanan didalam alam: yang tikus tetap tikus, yang kucing tetap kucing, yang kambing tetap kambing, yang macan tetap macan.

Hanya para jagoan saja yang bisa menerobos tatanan masyarakat yang seperti itu. Misalnya Ken Arok, si anak jadah dan kriminal jalanan yang akhirnya bisa menjadi raja itu, atau Gajah Mada, tukang pukul yang akhirnya bisa menjadi mahapatih, atau Untung Surapati, seorang hamba sahaya yang bisa meningkat menjadi pahlawan atau jagoan, atau Ir. Soekarno, seorang anak guru yang bisa menjadi Presiden Indonesia yang pertama, atau orang-orang melarat yang bisa menjadi konglomerat.
Yang Kuat itu Adalah Yang Hebat
Oh ya, akhirnya banyak juga jagoan-jagoan dalam berbagai bidang bisa muncul.

Tetapi kejagoannyalah yang membuat ia mampu mendobrak tatanan hidup yang resmi, yang sebenarnya tidak banyak memberi hak kepada khalayak banyak untuk memperkembangkan Daulat Manusia mereka.

Para pemimpin bangsa kita, dari sejak zaman raja-raja dahulu kala, memang tidak pernah menaruh perhatian kepada pengembangan Daulat Manusia pada umumnya.

Saat Aristoteles, filsuf Yunani (384-322SM) menulis buku “Politica”, menerangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin bangsanya, dan tidak membenarkan adanya tirani kekuasaan, para pemimpin bangsa kita masih hidup dalam kegelapan sejarah dan jelas tidak berminat pada filsafat.

Dan pada waktu Raja John dari Inggris mengesahkan Undang-Undang yang disebut orang sebagai Magna Carta, yaitu tahun 1215, raja mengakui kejelasan hak-hak bangsawan bawahannya dan juga hak-hak rakyat yang harus ia hormati dan tak mungkin ia langgar.

Jawa pada saat itu berada dalam pemerintahan Tunggul Ametung yang sebentar lagi akan digantikan oleh Ken Arok.
Kedua penguasa dari Jawa itu tak pernah memikirkan atau mengakui UU apapun. Sabda raja itulah UU bagi rakyat.

Sebagaimana dalam alam bahwa yang kuat itu yang menang. Maka tatanan masyarakat leluhur kita itupun berlandaskan kenyataan bahwa yang kuat itu yang benar (might is right). Dan yang terkuat dalam di dalam masyarakat tentunya raja.

Jadi sabda raja (dekrit raja atau Keppraj, yaitu keputusan raja) yang menjadi sumber kebenaran.

Tentu saja seorang raja Jawa tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang.

Ia diharapkan untuk Ambeg Paramarta serta menghayati Hasta Brata.
Tetapi bila ternyata raja tidak memenuhi harapan itu, dan kejam seperti Amangkurat Tegalarum atau menjijikkan seperti Amngkurat II,
ya…. TIDAK ADA SANKSI APA-APA sebab Ia KUAT, Ia RAJA. ***EAN***

Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak.
Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal.
Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.
Bahagia Korupsi
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya.
Mereka melakukan hal-hal melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.

Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan.

Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega.
Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan.
Jangan tanya masa depan kepada mereka.

Bangsa Indonesia mampu membikin ”siapa tahu” dan ”kalau-kalau” menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.

Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.

Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.

Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya.
Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya.

Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.

Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, ”Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di Bumi”.

Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan.

Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.

Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa ”bukan ini Indonesia”.

Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia. **EAN***

Baru hari ini saya menyadari bahwa jaman edan Pujangga Ronggowarsito bukanlah kisah tentang zamannya, melainkan keadaan dua abad sesudah era beliau.
”Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun….” Dalam ungkapan sehari-hari orang menuturkan ”amenangi jaman edan, yang tidak ikut edan tidak kebagian, dan pasti kelaparan…”

Koruptor VS PerampokKalau situasi kehidupan di era Raden Bagus Burham santri Kyai Kasan Besari Ponorogo, 1802-1844, disebut jaman edan: apa sebutan yang sepadan untuk tingkat sangat tinggi keedanan Indonesia 2013?

Sayang sekali kalimat ”kalau tidak ikut edan, tidak akan kebagian sehingga menjadi kelaparan” sangat merasuk dan dipercaya oleh masyarakat.
Sehingga ”yang tidak takut tidak kebagian” jumlahnya sangat minimal.
Maka, yang paling realistis menggapai sukses adalah korupsi, baik karena kemelaratan maupun karena keserakahan.

Modernisasi kehidupan juga tidak membuat manusia mampu membedakan “uang”, “gaji”, “pendapatan”, “laba” dengan “rezeki”.

Orang berebut uang, memperjuangkan kenaikan gaji, mengakali peningkatan pendapatan, merundingkan marking-up laba, karena menyangka itu semua sama dan sebangun dengan rezeki.

Manusia tidak mendayagunakan ilmunya untuk mengkreatifkan, dan mengeksplorasi kemungkinan sumber-sumber rejeki yang Tuhan sendiri merumuskannya dengan idiom ”min haitsu la yahtasib”: berasal dari mata air yang tak diperhitungkan, yang tak terduga, yang tak hanya terbatas pada lajur-lajur lembar akuntansi.

Karena orang tidak mau belajar, malas meneliti, tidak tekun berlatih, serta tidak berani ambil risiko mengaplikasikan ”min haitsu la yahtasib”, maka pilihan utama hidupnya ialah menghimpun cara dan strategi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan modal sekecil-kecilnya.

Bisa dengan menciptakan secara eksklusif ”etika perekonomian dan industri” yang permisif terhadap substansi etika yang sebenarnya.
Bisa dengan manipulasi aturan. Bisa dengan penipuan wacana-wacana dalam retorika keusahaan.
Tapi yang paling pragmatis adalah korupsi. Korupsi Levelnya sama dengan pengutil atau pencopet.

Kalah terhormat dibandingkan dengan perampok atau penjambret. **EAN***

Ini adalah Tema yang di angkat oleh TV One dalam acara Indonesia Lawyers Club malam ini,,, Isinya semua pejabat Tidak mau disalahkan dengan Kenyataan bahwa Daging dan Bawang di Indonesia HARGANYA TERMAHAL DI DUNIA…

Saling MenyalahkanSemua Pejabat Negra yang menangani Bawang dan Daging berkilah Namun dengan Nada bicara yang santai dan Memasang Mimik Wajah tenang agar Rakyat Indonesia Tidak menilai mereka Bersalah semua terlihat abu-abu, , .

Dengan selalu menutupi kesalah dengan sikap keabu-abuan Mereka maka Mereka akan tetap Menikmati Korupsi Dana APBN Impor Bawang dan Daging yang berkisar 800 Milyar.

Kementerian-kementerian tidak peduli masalah ini, Karena empat kementrian itu yang berkonspirasi atau bersekongkol membuat regulasi tanpa dibicarakan dengan dunia usaha…

Saat Rakyat Mengeluh malah saling lempar tanggung jawab dan saling mempertahankan egoisme sektoral kementrian, dan mereka meminta agar dilimpahkan ke daerah untuk mengatur kebutuhan pangan di daerahnya masing-masing.

Jika Harga Daging terus bertahan Mahal, Maka

MASA DEPAN GIZI RAKYAT INDONESIA SEMAKIN BURUK, DAN PARA PEJABAT NEGARA SEMAKIN KAYA SERTA SEMAKIN ABU-ABU.

Itu adalah Keberhasilan dari seorang Politisi karena Baru bisa disebut politikus, bila raut atau emosi tidak berubah dalam kondisi apapun, baik itu marah, sedih atau gembira, lurus dan datar-datar saja.
Ini membuat semua yang melihat tidak akan mampu membaca arah dan tujuan atau kejadian sebenarnya.

Bukankah ini berarti abu-abu, yaitu warna yang sulit didefinisikan.

Tidak hitam, tidak putih, atau mungkin bisa jadi berwarna banyak alias mambo seperti istilah yang digunakan pada benang gelasan tempo dulu.
Kalau negara Indonesia diurus oleh para politikus yang selalu abu-abu, bagaimana Indonesia kedepannya?

Sampai kapan tingkah polah nyentrik para orang-orang terhormat itu berakhir dan menjadi satu warna indah? Jawabannya tidak tahu.
Mereka yang terhormat terlalu banyak janji dan tak terbukti. kalau pun terbukti, itu hanya untuk kalangan sendiri dan bukan untuk orang banyak pada umumnya.

Negara Indonesia ini negara kaya raya, tapi hasilnya selalu seperti saat ini. Kalau mereka yang terhormat itu tidak abu-abu, Indonesia sudah maju dari dulu. Tidak ada lagi kejadian korupsi oleh yang terhormat, tidak ada Daging dan Bawang TERMAHAL DI DUNIA, tidak ada skandal kasus korupsi, tidak ada GIZI BURUK.

Tapi semua kenyataan yang ada adalah kebalikannya, hasilnya selalu abu-abu oleh tingkah laku abu-abu dari mereka yang terhormat. Kalau tulisan ini salah, mungkin terpengaruh manjadi abu-abu alias tidak jelas.